Call me Lili, bestie.
Kalau ada typo tandai, ya!
Happy reading 🙌
****
“TERESA! JANGAN KENCENG-KENCENG, WOY!”
Berkali-kali Aluna merapalkan doa agar nyawanya tertolong kali ini. Dengan tak santai, Teresa melajukan motor diatas rata-rata. Tentunya membuat Aluna mengumpat dan mengutuk temannya tersebut. Bahkan ramainya jalanan ibukota tak membuat Teresa menyerah.
“GUE MASIH PENGEN HIDUP, WOY! KALAU MAU KETEMU TUHAN JANGAN NGAJAK-NGAJAK!”
Menulikan pendengaran, Teresa justru menambah kecepatan. Tak peduli Aluna menepuk pundaknya berkali-kali.
Tak sampai dua menit mereka tiba di depan gor futsal yang dituju. Rasanya jantung Aluna ingin copot. Meski merasa lega karena sudah sampai.
“Goblok lo, anjir!”
“Lah, lo yang nyuruh cepet, kan? Ya udah, daripada lo telat.”
“Ralat, udah telat banget.”
Segera Aluna turun usai melepas helm, menatap gedung di depannya. Sedikit ragu untuk masuk dan menghampiri seseorang yang ingin dia temui.
“Rame nggak, ya?”
“Namanya lagi main bola ya rame. Kalau nggak rame di kuburan aja sono!”
Jawaban Teresa membuat Aluna melirik sinis. Kok betah, ya, punya teman seperti itu?
Sebenarnya Aluna bukan ingin main futsal, tapi menemui seseorang yang meminjam kaos olahraga namun belum dikembalikan. Sekarang dia membutuhkan kaos olahraga untuk ikut ekskul. Jika dihitung, dia sudah terlambat 10 menit lebih. Siap-siap saja mendapat hukuman saat kembali ke sekolah.
“Apa gue telfon aja, ya?” Aluna bermonolog.
“Gue tahu!” celetuk Teresa, sehingga Aluna menoleh dan menaikkan sebelah alisnya. “Telfon aja! Kan nanti dia keluar, tuh!”
Wajah Aluna begitu datar. Saran yang sangat-sangat membantu. Membantu Aluna untuk mengumpat kembali. “Terserah lo!”
“Lah, bener, kan?”
Sabar, sabar. Aluna sangat sabar.
Tanpa membuang waktu lagi—meski sudah terbuang sejak tadi—Aluna merogoh ponsel di saku rok. Menghubungi nomor Alan—senior satu ekskul—agar lelaki itu keluar. Belum sampai diangkat, yang diharapkan muncul.
Melihat lelaki dengan jersey futsal warna biru berjalan ke arahnya, Aluna menghampiri dengan kaki dihentak-hentakkan. “Lo kenapa nggak balikin dari tadi, sih! Gue udah nungguin di kelas tadi, Alan!”
Alan sampai menutup telinga saking kencangnya suara gadis itu. “Kan, gue udah bilang, nanti gue anterin. Lagian juga udah selesai. Habis ini gue balik ke sekolah buat ikut ekskul PA.”
“Tapi udah telaattt.” Aluna gemas sendiri.
Memang, dia tak memanggil Alan dengan panggilan Kak, Bang, atau embel-embel lainnya. Itu kemauan Alan sendiri, katanya merasa tua jika dipanggil Kak apalagi Bang.
“Gue telat, nih! Bisa-bisa gue dihukum lari keliling lapangan. Belum nanti ….”
Fokus Alan teralihkan ketika seseorang datang, tak disadari oleh Aluna lantaran gadis itu masih mengoceh, meluapkan semua kekesalannya. “Nih, cewek yang suka sama lo.” Alan berkata pada cowok di sampingnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Untuk Bulan
Fiksi Remaja"Bintang emang keren, bisa memancarkan cahaya sendiri, tapi gue suka Bulan. Lo tau? Meski Bulan punya kekurangan, dia tetap berusaha buat menerangi bumi dengan bantuan Matahari. Gue bakalan jadi Matahari buat lo, Aluna." . . . . Cover by pinterest.