11. Hukuman Kayu Bakar

398 51 1
                                    


Ku Lupakan Kamu dengan Bismillah
By Dwinda Darapati

.
.
.
.

***

Semua orang merasa lega ketika melihat Winda dan Geri sampai di halaman masjid. Mengucap syukur karena tidak terjadi apa-apa dengan gadis itu.

Sekarang sudah pukul sebelas siang sembari menunggu waktu Zuhur masuk para santri beristirahat. Dan saat itu juga lah, Winda dan Hamid datang.

"Windaaa!" pekik Nayla. Dia berlari menghampiri sahabatnya itu.

Winda yang dipanggil langsung menoleh, merentangkan tangan karena mengira Nayla akan memeluknya. Namun ternyata gadis itu salah, yang dilakukan Nayla sungguh diluar dugaan. Dia malah memukul pundak Winda dengan kasar.

"Lo ga tahu seberapa khawatirnya gue?!" Dan memukul pundak sebelah kiri. "Gue rasanya mau mati saat tahu Lo hilang!"

Nayla terus memukul tanpa sadar air matanya ikut keluar. Dia kesal namun khawatir, dia ingin marah tapi lebih bersyukur karena tahu bahwa sahabatnya ternyata baik-baik saja.

"Lo kemana aja?! Pakai kabur tengah malam, ha?!" serkas Nayla dengan suara tegas.

"Nayla ... bisa kamu memarahinya nanti saja? Teman kamu harus menghadap kepala karena berbuat kesalahan," tegur Geri.

"Ke-kepala?" Dia mengerutkan dahi. "Kepala apa?" tanya Nayla keheranan.

"Kepala pondok dan kepala kedisiplinan," jawab Geri. "Dan kamu Winda, siap-siap menerima hukuman."

Winda memasang tampang iba, dia menyungut pada Nayla. "Nay ... gue bakalan dihukum," rengeknya.

"Kasihan banget teman gue..." Dan Nayla datang memeluknya.

Memasang tampang mengiba Layla membalas pelukan sahabatnya itu. "Takut dihukum," rengeknya lagi.

"Harus Lo hadapi," jawab Nayla. Dia mengusap-usap kepala Winda dengan gemas. "Lo pantas dihukum." Lalu merengek. "Kasihan!"

"Nayla...."

"Winda...."

"Kalian berdua berhenti!" seru Kayla dari belakang. "Nayla! Segera berwudhu, dan Winda cepat ke kantor!" Kayla membuang napas gusar, persis seperti banteng yang baru saja mengamuk.

"Seperti anak-anak padahal mereka seusia denganku!"

***

Di ruangan kepala, gadis itu duduk dihadapan dua orang laki-laki tegas. Dia tengah di sidang karena kesalahannya. Rohid dan Rahmat siap memberikan pertanyaan dan juga sudah mempersiapkan hukuman untuk gadis itu.

"Maaf aku benar benar minta maaf, Pak. Aku tahu aku salah, aku siap terima hukuman. Buruan dihukum, aku dihukum banyak gapapa. Lebih takut disidang kaya gini." Winda berkata dengan cepat saat melihat Rohid akan berbicara.

"Janji ga akan ulang lagi, janji!" Dia mengangkat jari kelingkingnya.

Rohid malah tertawa pelan. "Belum tahu saya mau bilang apa kamu sudah nyerocos duluan," kekehnya.

"Pak ... maaf," pinta Winda merengek menundukkan kepalanya.

"Saya tanya, kemana saja kamu semalam?"

"Nggg ... Aku shalat tahajud di masjid karena Abang nyuruh minta ampun sama Allah. Tapi setelah itu aku dengar----" Winda segera menghentikan ucapannya saat sadar bahwa ada Rahmat disana.  Dia tidak mungkin memberitahu alasan sebenarnya, menunjukkan betapa bodohnya dia. Dia tidak ingin.

"Dengar apa?" tanya Rahmat.

"Dengar ...." Dia memutar pikiran, memikirkan jawaban. "Suara hantu!"

"Hantu?"

"Iya, dia manggil nama aku, aku ikutin dan nyasar, sampai pagi. Dan untung ustadz Geri nemuin aku," alibinya.

"Hantu mana Winda?" tanya Rohid, pria paruh baya itu malah tertawa lepas mendengar cerita Winda. "Dimana hantunya? Apa kamu ketemu setelah mengikutinya?"

"Nah itu dia masalahnya, aku ga nemu," jawab Winda memasang tampang lesu.

Sungguh pintar gadis itu memanipulasi, mengarang cerita sehingga membuat orang lain percaya. Rahmat hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

Adzan Zuhur berkumandang, Rohid segera berdiri untuk menuju masjid. Dia berbisik pada Rahmat dan lelaki itu menganggukkan kepalanya.

"Kamu bilang kamu siap menerima hukuman, kan?" tanya Rohid. "Rahmat yang akan menghukum kamu."

Keheningan terjadi ketika Rohid sudah tak berada di ruangan. Rasa canggung menghampiri kedua insan yang saling diam, tak berani menatap satu sama lain.

Jantung gadis itu tak bisa diajak berkompromi, dalam situasi seperti ini dia malah berdegup dengan kencang. Bahkan bunyi degupnya memekakkan telinganya sendiri.

"Winda!" panggil Rahmat dengan suara tegas.

"I-iya?" Dia terkejut.

"Kamu tidak dengar apa yang saya katakan dari tadi?" tanya Rahmat.

Dan dia menggelengkan kepalanya. Saking kerasnya degup jantung, hingga tak mendengar ucapan Rahmat sedari tadi.

"Hah?" Winda menoleh pada kekasih hatinya. "Siap! Siap!" Dia menjawab dengan cepat.

"Mulai besok, kamu harus mencari kayu bakar di hutan," putus Rahmat.

"W-what? Kayu bakar?"

"Apa lagi?"

"Sama Nayla, kan? Okeh, bisa kok. Nayla jago soal cari begituan." Winda menganggap enteng dan tersenyum sumringah.

"Sendiri!"

"Yah ... Nayla kan sahabat aku," protesnya.

"Yang berbuat kesalahan kamu dan kamu melibatkan orang lain dalam hukumanmu?" Rahmat menaikkan alisnya. "Apa itu yang dinamakan sahabat, Winda?"

"Sahabat itu tempat berbagi senang dan susah, Bang!"

"Tapi bukan dalam keburukan!" tegas Rahmat. "Saya yang akan mengawasi kamu besok!"

"Tapi Nayla..."

"Diam!"

***

Alhamdulillah 🎉

InsyaaAllah setelah ini Nda akan rutin update lagii...🖤

Bab ini pertama kali di publikasikan pada 27 Mei 2022

Kembali di publikasikan setelah di revisi pada 20 September 2024

Ku Lupakan Kamu dengan BismillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang