18. Cara Melupakan

499 55 5
                                    

Ku Lupakan Kamu dengan Bismillah

By Dwinda Darapati

.
.
.
.

Selamat Membaca 🥰

***

"Bagaimana cara melupakannya?"

Rahmat segera menghapus air matanya. Dia bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah luar. Langit tampak menghitam, suasana terasa dingin. Cuaca berubah tak karuan, pagi tadi padahal terlihat akan cerah, namun kini berubah mendung.

"Tidak ada cara ... cukup melupakan saja," jawabnya acuh.

Winda berdiri, dia mengikuti Rahmat dari belakang.

"Aku bisa memenuhi dua permintaan Abang. Tapi yang ketiga ... aku ga yakin bisa memenuhi." Dia terus mengikuti Rahmat hingga mereka sampai di lapangan.

Santri lain sedang ada kegiatan ekstrakurikuler, tentu saja lapangan akan kosong begitu juga dengan ruangan di dekat sana.

"Apa mungkin bagi seseorang untuk melupakan hati yang dicintainya?" lirih gadis itu dengan suara serak. Dia bahkan sudah menangis dari tadi.

KH Ahmad Zuhdianoor pernah berkata, mata bisa melupakan apa yang ia lihat tapi tidak bisa lupa dengan apa yang ia cintai.

Apakah mungkin bagi Winda melupakan Rahmat sedangkan dia mencintai lelaki itu dari dulu. Apa mungkin Winda akan baik-baik saja ketika dia memaksa hati dan pikirannya lupa dengan apa yang selama ini dia kagumi?

Bukankah itu sebuah pemaksaan?

Rahmat berbalik ketika mereka berdua sampai di tengah-tengah lapangan. Dia menoleh pada langit yang sudah bergumul awan hitam. "Bukankah kamu mencintai saya karena Allah, Winda? Kamu pernah berkata, ‘ana uhibbuka fillah’ bukan begitu, Winda?"

Winda memejamkan matanya saat air matanya jatuh. Mengapa dadanya terasa sakit?

"Maka itu lupakan juga saya dengan nama Allah. Sesuatu yang kamu mulai dengan izin Allah, maka kamu juga butuh bantuan Allah untuk menghentikannya. Lupakan saya, ya Winda."

"Bodoh!"

Rahmat menoleh, perempuan ini sedang mengatakan siapa?

"Aku bodoh!" Dia berteriak keras.

"Aku belajar matematika karena aku bodoh. Aku datang kesini karena aku bodoh tentang agama! Aku berharap bertemu dengan Abang karena aku bodoh! Aku jatuh cinta pada Abang karena aku bodoh!"

"Meski Abang ga mencintai aku, meski Abang mengusir aku, memangnya kenapa? Aku tetap menyukai Abang! AKU TETAP MENCINTAI ABANG!"

Dia berkata lantang, suaranya bahkan menarik perhatian santri lain hingga mereka datang menyaksikan dua insan yang tengah bertengkar di lapangan tersebut.

"Aku cuma ingin tahu ... apa Abang sungguh ga ada perasaan sedikit pun padaku?"

Dan setelah itu juga hujan turun mengguyur Desa Jeruk. Membasahi mereka yang tetap berdiri di tengah-tengah lapangan.

Nayla yang melihat itu hendak berlari ke lapangan menjemput Winda agar mereka berteduh. Namun Hamid menahannya.

"Biarkan mereka," katanya.

Nayla mengangguk, dia bersama semua santri berteduh di koridor menyaksikan Winda dan Rahmat. Seakan-akan sedang menonton bioskop, banyak diantara mereka yang terharu.

"Nda ...." Rahmat memelankan suaranya. "Kamu tidak mengerti."

Ini pertama kalinya setelah puluhan tahun mereka tidak bertemu Rahmat memanggilnya dengan sebutan itu. Hanya orang dekat yang memanggilnya begitu, bahkan Andy dan Nayla saja tidak.

"Kamu mengusik saya, Nda. Kamu menyiksa saya disini."

"Kalau begitu aku akan pergi," jawab Winda.

"Kamu masih mencintai saya, dan saya terbebani dengan itu. Saya mohon, lupakan saya, Nda. Agar saya tidak merasa bersalah."

Winda menangis, dia terduduk dan memeluk lututnya dibawah guyuran hujan. "Akan aku coba." Gadis itu akhirnya menyerah.

"Tapi gimana kalau aku gagal, Bang?" tanya Winda dengan nada cemas. "Gimana kalau aku tetap ga bisa lupain Abang, gimana kalau setelah pergi dari sini aku semakin cinta sama Abang?"

"Bismillah Winda ... kamu bisa," jawab Rahmat.

"Abang!" bentak Winda. "Abang belum menjawabnya!"

Rahmat menarik napas panjang. "Carilah ibumu, Winda. Setelah kamu bertemu dengan beliau, saya yakin kamu bisa melupakan saya."

Dan setelah itu Rahmat berlalu, dia meninggalkan gadis itu dibawah hujan yang kian deras. Tanpa ada seorangpun yang tahu bahwa ternyata lelaki itu menangis pilu dan memukul dadanya. Hujan menyembunyikan tangisnya, sedang semua orang mengira lelaki itu sangat kejam.

Nayla berlari ke lapangan, dia menarik Winda agar berdiri. Diikuti oleh Fatimah, mereka memapah Winda untuk dibawa ke kamarnya.

***

Hamid dan Geri menyidang Rahmat. Dua lelaki itu berdiri dihadapannya berjalan saling berlawanan arah. Sementara Rahmat duduk tenang di atas ranjang sambil memegang luka di dahinya.

Wajahnya memerah karena tangis, namun dia mengaku bahwa itu terjadi karena cuaca yang dingin.

"Kita sudah bergaul bertahun-tahun, baru kali ini ane melihat antum sekejam itu." Hamid memulai dengan sindiran. "Ane baru tahu kalau ternyata antum berhati batu."

Rahmat tak menjawab.

"Jadi ini Rahmat yang selama ini dibanggakan? Yang selalu berlaku lemah lembut pada siapa saja, kini jadi seorang pengecut yang membuat gadis menangis." Hamid menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Apa antum dan Winda punya masalah di masa lalu? Apa dia menyakiti antum?" tanya Hamid. "Mengapa ga mencoba untuk memaafkan? Mengapa menyimpan dendam begitu lama?"

Rahmat menggelengkan kepalanya. "Bukan itu," jawabnya singkat.

Geri memilih untuk duduk disamping Rahmat, dia memegang pundaknya. "Apa masalahnya?"

Rahmat diam, dia enggan memberitahu.

"Antum ingat ga waktu Winda hilang? Antum tahu apa alasan dia pergi hari itu?" tanya Geri.

"Dia melihat hantu," jawab Rahmat. Karena begitulah yang didengarnya.

"Bukan."

Hamid dan Rahmat mengalihkan pandangan ke Geri.

"Karena dia merasa kalah. Dia mendengar perempuan lain mencintai antum, dan dia merasa kalah. Dia cemburu."

"Maksudnya?"

"Dia tulus mencintai antum, sangat. Bahkan hanya tahu perempuan lain mencintai antum saja sudah membuatnya patah, apalagi jika antum mencintai perempuan lain. Dan dengan teganya antum menghukum dia mencari kayu bakar." Geri menjelaskan. "Dia tidak pantas melakukan itu!"

"Benar, Winda sudah cukup menderita dengan pekerjaan seperti itu. Nayla pernah bilang kalau gadis itu sudah melewati masa susah, jangan siksa dia lagi." Hamid menegaskan. "Sudah saatnya bagi Winda hidup senang."

"Dia melakukan itu karena dia artis, dia bisa berakting. Dia melakukan itu karena ingin mendapat perhatian saya." Rahmat masih menyangkal.

"Apa mungkin dia berakting di tengah malam? Apa mungkin dia menangis karena ‘akting’ saat ga ada orang?"

"Hamid benar, hati antum sekeras batu!"

***

Alhamdulillah update!😇
Jangan lupa tinggalkan jejaknya yaaa💜

Terima kasih 💜

Bab ini pertama kali di publikasikan pada 4 Juni 2022

Kembali di publikasikan setelah di revisi pada 23 September 2024

Ku Lupakan Kamu dengan BismillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang