19. Harapan

430 50 3
                                    

Ku Lupakan Kamu dengan Bismillah

.
.
.
.
.

By Dwinda Darapati

Selamat Membaca 🥰

***

Winda duduk dengan berbalut selimut, tubuhnya menggigil karena hujan-hujanan tadi. Dia memeluk lutut sembari meniupkan napas panas ke tangan dan kakinya. Fatimah datang membawakan segelas teh hangat, dia berjalan ke arah meja dan menaruhnya disana.  Setelah itu, gadis itu duduk di samping Winda dan merangkulnya.

"Udah, Kak. Jangan terlalu dipikirin," hiburnya.

Winda merasa canggung, hanya ada dirinya dan Fatimah di ruangan ini. Diperlakukan baik oleh gadis itu membuatnya merasa bersalah karena kemarin sudah mendorong Fatimah dari motor.

"Fatimah ..." panggilnya.

Gadis itu menoleh. "Iya, kak?"

"Maafin aku. Aku beneran nyesel udah dorong kamu dari motor. Aku benar-benar minta maaf," ucap Winda dengan tulus.

Fatimah tersenyum. "Gapapa kali, Kak. Aku juga ga kenapa-napa. Aku ga luka juga. Yang ada nih kak Winda malah keseleo dan kedinginan sekarang," kata Fatimah dengan santai.

Sungguh, perempuan ini adalah bidadari surga. Mendengarnya berkata sudah menyejukkan hati. Hatinya bersih, tidak menyimpan dendam.

"Ini terjadi karena aku dorong kamu, andai aku ga dorong kamu pasti aku ga bakalan jatuh kaya gini. Dan juga ... Abang----"

Fatimah segera menyela. "Kak! Ga baik kaya gitu, semua ini udah ditakdirkan oleh Allah. Kakak jangan menyesalinya."

Winda melepas selimut yang membungkusnya. Dia memutar arah duduk  dan memeluk Fatimah. "Kamu orang baik. Kamu baik!"

Fatimah melepaskan pelukannya. "Kak Winda juga baik. Semua orang itu baik, Kak. Hanya saja bagaimana cara orang lain memperlakukannya. Mungkin menurut kak Winda aku baik tapi sebaliknya, bagi beberapa orang aku ga baik."

Winda menganggukkan kepalanya. "Aku bersyukur bisa mengenal kamu, Fatimah. Aku bersyukur," ungkap Winda.

"Semoga orang baik seperti kamu jodohnya orang baik juga," tambahnya.

Fatimah menoleh, orang baik yang dia harapkan adalah Rahmat. Namun dia tidak mungkin menunjukkan pada siapapun. Fatimah berkomitmen akan menyimpan perasaannya seorang diri.

"Tapi maaf kalau aku egois, aku ga mengharapkan orang baik yang menjadi suami kamu adalah Abang Rahmat." Dengan tegas Winda memberitahu.

Bagai ditusuk jarum, perkataan itu langsung menghujam jantung Fatimah. Dia mencintai Rahmat bahkan sebelum Winda datang kemari. Dia bahkan menyebut nama Rahmat dalam doanya, lantas mengapa?

Tidak.

Fatimah berharap Rahmat menjadi imamnya kelak. Namun bagaimana jika tidak berjodoh?

"Aku minta maaf, Fatimah. Aku tahu kamu mencintai Abang." Dan Fatimah tak dapat berkata-kata. Bagaimana bisa Winda tahu?

"Maaf ... aku mendengar kamu menyebutnya dalam doamu."

Fatimah langsung mendapatkan jawaban tanpa bertanya. Tetapi pertanyaannya, kapan Winda mendengarnya?

"Aku egois pada cintaku. Sampai-sampai aku ga sadar diri bahwa Abang sama sekali ga mencintai aku, dia bahkan membenci aku. Dia bilang kehadiran aku disini menganggu, dia bilang perasaan aku padanya menyiksanya. Fatimah ... apa aku harus berhenti mencintai Abang? Aku mencintainya dari dulu ... sejak aku masih mengenakan baju merah putih!"

Fatimah tersentak, kalah telak, ternyata Winda lebih dahulu mengenal Rahmat dibandingkan dirinya.

"Aku selalu bertanya-tanya, siapakah perempuan yang dicintai Abang? Dan setelah aku mempelajari semuanya, aku mendapati jawaban."

"S-siapa?" tanya Fatimah meragu.

"Yang pasti bukan aku, dan mungkin itu dirimu," beritahu Winda.

"Kak Winda ga bisa bilang gitu!" tegur Fatimah, dia tidak ingin kegeeran.

Winda tersenyum. "Dia tidak mencintai aku, dan satu-satunya perempuan yang sering bersamanya itu kamu. Bisa jadi aja, kan?"

Fatimah menggelengkan kepalanya. "Engga! Ga mungkin."

"Bisa jadi, Fatimah. Jika aku ... Abang terang-terangan menolak dan membenciku. Tapi kamu, tidak ada yang tahu. Setidaknya kamu masih punya harapan bahwa Abang mencintaimu." Winda berkata dengan suara bergelombang.

Fatimah memegang bahu Winda. "Kalau aku punya harapan, berarti kak Winda juga punya harapan. Hati manusia itu tidak tetap, Kak. Ada Dzat yang membolak-balikkan hati, bisa jadi hari ini ustadz Rahmat membenci Kak Winda namun suatu hari nanti siapa yang tahu kalau ustadz Rahmat jatuh cinta sama kak Winda?"

Winda tertawa kecil. "Kamu ... kamu menghibur aku, Fatimah. Terima kasih." Dan segera dia memeluk Fatimah kembali. Mengusap punggungnya dengan sayang.

Winda merasa dia mempunyai sosok kakak yang mampu memenangkannya walau kenyataannya Fatimah lebih muda darinya. Gadis itu sangat dewasa, dia mampu mengatasi gundah hatinya.

"Terima kasih Fatimah."

***

Setelah shalat isya Nayla memilih duduk di bangku taman sambil memangku mukenanya. Dibalik itu dia membawa pena dan buku kecil. Berkali-kali Nayla melirik jam yang melingkar di jarinya, dia juga melirik sekitar namun tak mendapati apa-apa.

Nayla sedang menunggu Hamid, ada yang perlu di bicarakan dengan lelaki itu.

"Sudah hampir jam sembilan," gumamnya. Nayla berdiri, dia menyerah menunggu dan hendak meninggalkan taman.

Namun urung, lantaran sudut matanya menangkap kehadiran Hamid. Nayla berputar arah dia melambai tangan.

"Nayla?" Hamid menaikkan alis, dia berjalan menuju arah gadis itu. "Ada apa?"

Nayla menggesek ujung kaki kirinya ke tanah, dia menunduk malu-malu. Tangannya yang memegang buku tampak bergetar.

"Mmmm ... ustadz..." Panggilnya.

"Iya?"

"B-boleh minta nomor-nya?" Dengan cepat Nayla menyerahkan buku dan penanya. "Untuk aku hubungi kalau perlu. Janji ga akan  macam-macam." Dia mengangkat kedua tangannya membentuk piece.

Hamid tersenyum kecil, dia meraih buku dan pena itu lalu menuliskan nomornya. Setelah selesai Hamid kembali menyerahkan buku tersebut.

"Makasih banyak, Ustadz." Nayla meraih dengan cepat, dia melangkah buru-buru meninggalkan Hamid.

"Nayla..."

Dan panggilan itu membuat langkahnya berhenti. Jantung Nayla berdebar, dia segera berbalik menatap pada Hamid.

"Kalau Winda pergi, kamu juga akan pergi?" tanya Hamid.

Nayla mengangguk. "Aku menajer-nya. Aku harus pergi. Sedih banget harus pergi dari sini."

"Tidak apa-apa, Nayla. Insyaallah kita kembali dipertemukan lagi di tempat lain." Hamid berkata dengan senyuman.

Ah, senyuman itu membuat Nayla menjadi salah tingkah.

Tunggu, Hamid berkata ‘semoga dipertemukan lagi’ bukan? Apa itu artinya Hamid juga mengharapkan hal yang sama?

Apa Hamid juga berharap bertemu lagi dengan Nayla?

***

Alhamdulillah update 😇

Jangan lupa tinggalkan jejaknya yaaa 🎈

Follow juga Instagram Nda untuk info update lebih lanjut.

Bab ini pertama kali di publikasikan pada 5 Juni 2022

Kembali di publikasikan setelah di revisi pada 23 September 2024

Ku Lupakan Kamu dengan BismillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang