8. Kehilangan yang Masih Ada

472 61 0
                                    

Ku Lupakan Kamu dengan Bismillah

By Dwinda Darapati

.
.
.
.

Selamat Membaca

***

"Ini kalung kamu," kata Rahmat seraya menyerahkan benda itu pada Winda.

Segera gadis itu meraihnya dengan tangan gemetar. Belum lagi sentuhan tanpa sengaja yang terjadi antara mereka. Bertepatan saat itu juga, Rahmat langsung beristighfar dan menjauhkan tangannya segera.

"Abang maaf ya, maafin Nayla. Dia emang kaya gitu. Maaf udah nuduh Abang nyuri," kata Winda menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. "Maaf banget, Bang. Jangan usir aku dari sini, ya."

Dengan tatapan datar lelaki itu menjawab, "saya tidak punya hak untuk mengusir. Dan lagi pula, saya tidak masalah dengan ucapan teman kamu itu."

Winda masih saja merasa bersalah, kedua kakinya digeseknya ke tanah untuk mengurangi rasa gugup. Berada di dekat laki-laki ini sungguh membuatnya tidak bisa bernapas dengan baik. Walaupun demikian dia ingin berlama-lama berada di dekat Rahmat.

"Abang tahu ga, liontin ini sebenarnya bukan punya aku, lho! Waktu umur sembilan tahun aku bermain di lapangan hijau, dan mencuri liontin ini." Dia tertawa pelan. "Sebenarnya bakalan dibalikin, sih, tapi orangnya ga ada yang kehilangan. Jadi ... sampai sekarang jadi milik aku."

Rahmat menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. "Saya kehilangan liontin itu waktu umur sebelas tahun di lapangan hijau." Dia mengukir senyum namun buru-buru menyembunyikannya karena tertangkap oleh Winda.

Kedua bola mata Winda melebar. "Abang ... jangan bilang ...." Dia menggelengkan kepalanya. "Kampung Kenari?"

Dan Rahmat mengangguk. "Iya, ayah saya bekerja di desa itu sampai sekarang." Dia menghela napas kembali. "Terima kasih karena sudah tidak menghilangkan liontin itu."

Sebuah rasa yang tak dapat dijelaskan membuncah di dalam dada Winda. Benar, lelaki yang dulu ditemuinya waktu umur sembilan tahun itu adalah Rahmat. Lelaki yang pertama kali menyuruhnya shalat dan menutup aurat kala itu.

"Berarti ini punya Abang, ini..." Dia menyerahkan benda itu kembali pada Rahmat.

"Simpan saja, sekarang saya tidak lagi membutuhkan," jawab lelaki itu.

Rasa canggung bersalah bergabung jadi satu. Tatapan datar namun sayu yang Rahmat berikan membuatnya jadi salah tingkah.

"Makasih banyak, Abang." Dia segera berbalik hendak kembali namun interupsi Rahmat menghentikan langkahnya dan membuatnya kembali berbalik.

"Kalau saya boleh tahu, apa alasanmu ikut pesantren kilat ini?"

Melihat sebuah tempat duduk yang lumayan panjang, winda bertanya, "Abang, kalau duduk boleh? Pegal, nih."

"Boleh," jawab Rahmat.

Gadis itu bergerak hendak duduk, namun sebelum itu Rahmat berkata, "tapi semalam ada anjing yang tiduran disana, gapapa?"

"Ga usah, berdiri aja," jawab Winda secepat kilat. Kembali pada posisi tadi, dimana dia dan Rahmat saling berhadapan.

"Aku ingin mencari ridho Allah, Bang. Selama ini ngerasa keberhasilan di dunia entertainment itu kaya ga ada yang spesial. Gitu-gitu aja, dan setiap malam selalu gelisah. Aku juga pernah berniat masuk pondok pesantren aja yang kaya di Gontor. T-tapi, kan udah lulus SMA, buat apa lagi coba," cerita gadis itu panjang lebar.

Winda menekuk kaki kiri dan kanan bergantian karena terasa pegal.

"Sampai suatu ketika ya, aku lihat ada pamflet pesantren kilat disini. Dan Abang tahu, seolah-olah aku ngerasa ada yang memanggil untuk datang kesini." Dia tertawa. "Aneh emang, tapi nyata, Bang."

"Nyata bagaimana?" tanya Rahmat.

"Abang tau telepati, kan? Menurut psikologi kalau kita sedang memikirkan seseorang, maka akan ada kontak batinnya." Gadis itu tersenyum jahil. "Abang waktu itu mikirin aku, ya?"

Rahmat tertawa mengejek. "Siapa yang mikirin kamu," elaknya.

"Yaudah kalau gitu," jawab Winda. "Abang, aku balik dulu, ya."

"Saya ada pertanyaan yang lebih penting," ucap Rahmat. "Maukah kamu menjawab untuk sebentar saja? Saya ingin tahu," pinta Rahmat dengan sungguh.

"Apa, Bang?"

"Kenapa kamu jadi aktris dan membuka aurat mu selama ini?"

Gadis itu menarik napas, tatapan matanya yang tadinya datar berubah jadi sayu. Sesekali melirik Rahmat lalu menundukkan kepalanya.

***

"Terlalu banyak dosa yang sudah aku lakuin, Bang. Apa mungkin Allah mengampuni aku?" tanya Winda. Dia berjalan beriringan dengan Rahmat menuju masjid lantaran waktu Zuhur akan segera masuk.

"Allah maha pengampun, siapa yang bertaubat kepada-Nya maka akan diampuni. Mau sebanyak apapun dosamu pasti akan diampuni oleh Allah tapi dengan satu syarat." Rahmat menjawabnya dengan tegas.

"Apa?"

"Asalkan hamba-Nya mau meminta ampun."

Winda menghentikan langkahnya membuat Rahmat yang berada di depannya segera berbalik. "Kenapa?"

"Bagaimana cara meminta ampun, Bang? Apa mungkin hanya dengan ikut pesantren ini saja?"

Senyum tipis terukir di wajah Rahmat. "Shalat taubat, lah."

Winda mengangguk. "Yaudah terus jalannya, Bang!" Dia memerintah.

"Oh iya, Abang! Bolehkah aku jadi orang yang ga tahu diri? Jelas-jelas aku banyak dosa, tapi masih berharap keinginanku dikabulkan oleh Allah? Abang tahu, banyak banget keinginan yang bahkan sampai sekarang terwujud. Banyak keinginan yang belum terkabul, padahal jelas-jelas udah minta."

Sisi cerewetnya kembali. Lelaki itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Meski dia selalu menjaga jarak dengan gadis itu, akan tetapi Rahmat sangat senang apabila Winda semangat dalam belajar agama.

"Shalat tahajud, lah. Keinginanmu akan terkabul ketika kamu melaksanakan dan meminta pada Allah setelahnya."

Winda kembali meragu. "Apa Allah akan mengabulkan? Mengingat dosa aku yang ga terhitung banyaknya?"

"Asyifa Winda ... sinyal ponsel sangat cepat ketika malam hari. Bagaimana dengan doamu pada malam hari? Kira-kira begitulah perumpamaannnya."

Hati Winda tersentuh, dia tidak salah menjatuhkan hati pada lelaki itu. Lelaki yang mempunyai jawaban atas pertanyaannya, lelaki yang paham akan agama. Bukankah lebih beruntung mempunyai suami paham agama dibandingkan yang rupawan tampangnya?

"Abang ... apa boleh aku kembali menyebut nama Abang lagi di dalam doaku?"

***

Alhamdulillah update lagiii....✍️

Jangan lupakan bintangnya yaa, biar Nda lebih semangat lagii;)

Bab ini pertama kali di publikasikan pada 10 April 2022

Kembali di publikasikan setelah di revisi pada 19 September 2024

Ku Lupakan Kamu dengan BismillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang