Bisnis Baru

9K 1K 36
                                    

Sarah membuka matanya pelan. Penasaran mengapa mendadak badannya terasa pegal. Bibirnya lalu meringis kala mendapati dirinya yang tidur masih dipelukan Devan.

Ia kemudian buru buru menjauhkan tubuhnya. Tak mau Devan tahu kalau ia semalaman memeluk pria tersebut.

.
.
.

Hari ini Devan akan kembali bekerja usai meliburkan kantor selama dua hari. Mengingat itu Sarah berdecak beberapa kali. Ia tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi ini. Pikirannya beberapa kali melayang mengingat ia masih ingin bekerja namun tak mendapat izin dari sang suami. Apalagi waktu itu Devan telah memecatnya. Semakin membuat Sarah bingung harus melakukan apa.

"Selamat pagi... "

Devan datang lengkap dengan pakaian kantornya. Ia jadi mengingat dirinya yang biasanya juga rapih seperti Devan saat ini bersiap berangkat ke kantor. Nah, sekarang, ia justru masih mengenakan pakaian tidurnya dengan rambut di cepol sangat asal.

"Pagi." Sarah menjawab cuek

Devan menahan senyumnya, kemudian mencium kening Sarah sebagaimana mestinya saat pagi hari, "istri saya yang cantik ini kenapa cuek sekali ya? masih pagi harusnya senyum sumringah." Meledek. Itu yang sedang Devan lakukan saat ini.

Sarah menurut dengan terpaksa. Tersenyum sangat mengerikan di mata Devan sekarang.

"Cantik, tapi kayanya lebih cantik lagi kalo ga senyum."

"Terserah!"

Sarah sudah selesai menyajikan sarapan. Ia baru saja akan segera menyajikan minuman untuk suaminya itu.

"Nanti kamu belanja aja ya," ujar Devan.

"Mau beli apa? kemaren aja udah belanja bulanan kok."

Sarah menjawab masih dengan sedikit kesal. Devan memintanya belanja sudah pasti agar dirinya tak merengek meminta kerja. Sarah yakin sekali.

"Everything you want, u can get it."

"Yaudah, saya mau beli truck."

Devan tersedak. Buru buru Sarah memberi suaminya itu minum. Selintas berita yang pernah ia baca mengenai seseorang yang meninggal karena tersedak mendadak muncul. Astaghfirullah!

"Buat apa?" tanya Devan. Aneh banget mendadak minta mobil truck.

"Buat angkut pasir, saya mau bangun rumah di Bojong Gede!"

"Gausah, tinggal beli aja apa susahnya?"

"Becanda." Singkat, padat, jelas. Sudah setelah itu Sarah tak lagi bicara. Mendiamkan Devan hingga pria itu selesai dengan sarapannya.

"Jadi belanja?" tanya Devan lagi saat sudah siap berangkat.

"Gak."

"Yaudah berkebun aja."

"Berkebun apa?" tanya Sarah sedikit terkejut.

"Kelapa sawit juga boleh kalo kamu mau," jawab Devan sedikit ngegas. Ia asal menjawab. Tak mengira jika Sarah justru menampilkan wajah ceria, perasaan laki-laki itu mendadak tak enak melihatnya.

"Boleh ya nanti saya beli kebon sawit di Kalimantan? kebetulan juga minyak lagi mahal, siapa tahu nanti jadi usaha baru, gimana?"

Devan menggaruk tengkuknya yang tak benar benar gatal. Melihat wajah istrinya itu yang tampak antusias sepertinya wanita itu serius dan sekarang dialah yang sedang menyesali ucapannya tadi. Bukan masalah uangnya, tapi akan serepot apa ke depannya usai Sarah membelinya bukan. Pria itu pasti akan pusing bagaimana mengelolanya juga memikirkan tetek bengek lainnya.

"Kalo gaboleh yaudah saya tanem aja depan rumah."

"Jangannnnnn," tutur Devan cepat. Mau jadi apa rumahnya kalau di halaman depan bukannya terdapat taman penuh bunga malah di tanami kelapa sawit.

"Hari ini kamu belanja baju atau apalah, nanti biar saya yang urus masalah kebun sawitnya."

"Nanti atas nama anak kita ya Pak?" ujar Sarah berbinar.

"Gimana kasih namanya, lahir aja belum?" lihatlah sekarang akibat ucapannya yang asal Devan jadi bingung sendiri.

"Ya kasih aja, punya anaknya Sarah sama Devan."

Devan meringis. Demi dewa neneknya Tapasha, ia sangat bingung sekarang.

"Nanti biar Risa yang urus," putusnya. Devan lalu pergi usai berpamitan kepada Sarah juga calon anaknya, tentu saja.

"Asik, belum lahir aja udah jadi boss sawit kamu nak." Sarah terkekeh sembari berjalan masuk ke rumahnya itu.

.
.
.

Devan berjalan memasuki kantornya. Laki-laki itu berjalan sambil memijit pelipisnya pelan. Antara pusing sungguhan dan pusing karena memikirkan permintaan Sarah, rasanya sama.

Di lobi, pria itu berpapasan dengan sang asisten, Risa. Mereka lalu berjalan menuju lift dengan Risa yang mengikutinya di belakang.

"Risa kamu mandi atau tidak sebelum ke kantor?"

Risa melotot. Langsung buru buru ia mencium dirinya sendiri dengan heboh. Ia bahkan sempat luluran saat mandi pagi tadi. Tak mungkin kan ia bau sekarang ini.

"Mandi pak, memangnya saya bau ya?" Risa rasanya ingin menangis jika saja Devan mengatakan iya. Mendadak langsung tak percaya diri karena ucapan bossnya itu.

"Saya muak aja nyium aroma kamu yang semerbak itu."

Kaki Risa rasanya sudah tak bertulang. Mendadak Risa merasa seperti bunga bangkai yang baunya semerbak. Rasanya sudah ingin meluruh dan menyatu dengan lantai mendengar ucapan atasannya itu. Padahal dia termasuk wanita yang selalu on point dimana pun berada

"Nanti saya ganti pak," entah ganti baju atau ganti parfum yang Risa maksud Devan hanya mengangguk sekilas.

"Mulai hari ini Sarah berhenti jadi sekretatis saya, kamu mampu bekerja sendiri?"

"Kalau tidak, biar HRD mencari sekretatis baru."

Bukannya menjawab Risa hanya manggut manggut saja. Memikirkan mengapa tiba tiba Sarah berhenti dari pekerjaanya.

"Risa?"

"Ah iya saya mampu kok pak."

"Baguslah, setelah itu urus pembelian perkebunan sawit di Kalimantan."

"Bisnis baru pak?" Risa gatal ingin bertanya. Pertanyaanya terlontar begitu saja karena rasa penasaran.

"Istri saya yang minta," Devan lalu masuk ke dalam lift di ikuti Risa.

"Hah? minta kebun sawit buat apa?" Risa yang menyadari ucapannya barusan cepat cepat menutup mulutnya. Lancang sekali dirinya ini.

"Mau nyiptain minyak goreng baru katanya."




HALLO HALLO! PENCET BINTANG JIKA INGIN DAPET PACAR🙏 TBC!!!!

STRANGE BOSS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang