Di dalam mobil yang sedang melaju ke tempat tinggalnya, Sarah termenung. Bukan sedih atau bagaimana. Wanita itu nampak sedang berpikir keras sambil meletakan tangan di dagunya.
Gawat. Bentar lagi Sarah pasti sadar.
Devan memang sejak tadi mengamati gerak-gerik istrinya itu. Dan dapat laki-laki itu simpulkan bahwa sang istri tengah memikirkan sesuatu yang janggal. Devan pun yakin setelah ini ia pasti akan kena amukan dari Sarah.
“Saya tuh bingung.” Ujar Sarah sambil menolehkan kepalanya menatap Devan.
“Kaya ada yang aneh tapi kaya enggak juga.”
Devan menghela nafas. Aman. Batinnya. Lagian sejak kapan sih istrinya jadi lemot begini. Meski begitu ia tetap bersyukur Sarah masih belum sadar.
“Mungkin kamu laper.” Kata Devan.
Sarah kembali terdiam. Hingga sampai di rumahnya pun wanita itu langsung masuk ke dalam rumah. Devan lagi-lagi hanya menghela nafas.
Keduanya berjalan ke arah dapur. Lebih tepatnya Devan mengikuti Sarah yang berjalan kesana.
“Siapin duitnya loh pak. Minimal satu milyar gitu lah. Satu biji sepuluh juta, berarti kalo satu milyar berapa biji?”
“Seratus.”
“Tapi gak kuat kalo seratus.”
Devan duduk di kursi bar. Mencomot satu makanan yang ada di bungkus, perolehan dari pesta yang keduanya bawa pulang.
“Bagi dua ya? Tapi nanti bagian bapak buat saya aja, kan saya istri.”
“Terus saya dapet apa? Saya yang ngasih uangnya, saya juga yang ikut makan, tapi saya gak dapet apa-apa.”
Devan mengernyit heran. Lagian salahnya sendiri. Sudah tahu istrinya suka uang, masih nekat mengiming-imingi uang sepuluh juta. Apalagi dengan syarat yang tergolong mudah dan juga agak aneh. Disuruh makan terus dibayar, mana ada orang yang akan menolak.
“Dapet cinta dan kasih sayang.”
Sarah tersenyum menampilkan deretan giginya.
“Cinta dan kasih sayangnya buat kamu aja, saya uangnya, kita tukeran.”
“Dih males banget, jangan pelit-pelit, bentar lagi punya anak juga.”
Setelah selesai meletakan makanan pada piring. Sarah mulai memakannya satu persatu.
Mendengar ucapan Sarah, mendadak Devan langsung tersenyum. Duduk menatap sang istri dengan tangan yang menyandar dagu miliknya. Mengingat bagaimana dulu saat awal sebelum menikah Sarah terus menolaknya. Lihat bagaimana saat ini wanita itu tengah mengandung anaknya. Apa itu sudah berarti Sarah sudah menaruh rasa padanya. Seharusnya dengan kehadiran sang anak itu berarti sudah, kan. Devan tak sabar akan bagaimana rupa Sarah saat perutnya sudah membesar nanti. Akankah wanita itu akan mengeluh karena berat membawa anaknya kesana kemari. Apapun itu Devan akan menjaga Sarah dengan baik.
“Kamu penasaran nggak, kenapa dulu saya bisa suka sama kamu?”
Sarah menghentikan aktivitas makannya. “Oh jadi sekarang nggak suka?”
Devan mengangguk. “Nggak sesuka dulu, tapi sekarang suka banget.”
Sarah mencebikan bibirnya. Lalu kembali melanjutkan makannya yang tertunda.
“Dulu waktu saya datang ke kampus, saya liat perempuan lagi marah-marah di tengah lapangan, dia lagi ribut sama cowok.”
Sarah menghentikan acara makannya.
“Terus saya deketin, makin deket makin jelas galaknya, saya liat juga cowoknya keliatan tertekan.”
“Tapi saya maklumin, soalnya si perempuan udah kayak barongsai marahnya. Siapa yang gak takut liatnya."
Devan terkekeh. Berbeda dengan Sarah yang nampak mengerutkan dahinya kuat.
“Padahal ditonton banyak orang, tapi tetep aja marahnya nggak kelar-kelar.”
“Itu pertama kali saya liat perempuan nggak ada malu-malunya.”
“Karena perempuan disekitar saya nggak ada yang seperti itu, semuanya lembut, penurut, iya-iya aja kalo diajak ngomong.”
“Pas liat itu saya senyum, nggak tahu kenapa saya senyum padahal orang lagi ribut, tapi pas liat itu saya lucu aja.”
“Tiga tahun kemudian saya ketemu lagi sama perempuan itu, kali ini nggak marah-marah, penampilannya juga menurut saya beda, dulu kayak cowok, sekarang udah nggak, mungkin dulu khodamnya sebagai cewek lagi ketuker.”
“Kok kayak kenal ya.” Gumam Sarah yang hanya ditanggapi kekehan dari Devan.
“Dia datang ke perusahaan saya, ngelamar kerja, saya pikir cuma kebetulan, tapi saya pikir lagi, kayaknya saya suka, suka senyumnya, suka prilakunya, suka pas ngebantah omongan saya.”
Devan terkekeh lagi.
“Semakin dia kesel, semakin saya suka liatnya.”
“Kamu tahu orangnya?”
Sarah menampilkan ekspresi datar miliknya. “Saya.”
Devan tersenyum lagi. Terlihat sangat tampan dan tidak baik dilihat secara bersamaan untuk kesehatan jantungnya. “Iya, kamu kok tahu.”
“Saya penasaran, kenapa penampilan kamu berubah?”
“Soalnya karna penampilan itu dulu saya pernah didaftarin jadi abdi negara, saya nggak mau, jadi abdi negara kan tanggung jawabnya besar, lagian saya mageran, tetep aja didaftarin, giliran bang Satria yang lakik malah dimasukin les masak.”
“Tapi saya suka. Kalo besok anak kita perempuan terus mirip kamu pasti lucu.”
“Nanti saya ajarin dia gimana cara ngatasin cowok-cowok playboy, kalo dia galak, itu lebih bagus, biar jauh-jauh dari cowok-”
“Dari cowok yang kaya bapaknya!” Potong Sarah.
“Kok saya?”
“Iyalah! Bapaknya emang ngerasa selama ini cowok baik-baik? Orang pacarnya aja ada dimana-mana.”
Devan terdiam. Bener sih. Tapi jangan sampai juga anaknya jadi korban dari laki-laki sepertinya, kan.
“Saya gitu supaya kamu cemburu tahu.”
“Terus saya cemburu?”
“Engga."
Sarah tertawa terbahak. Devan merengut kesal karena memang sebanyak apapun tingkahnya, Sarah seperti tak peduli dan bodoamat. Wanita itu memang terlihat tidak peduli. Acuh tak acuh. Pokoknya asal Devan tidak makan gapura saja Sarah tidak peduli.
“Ketawain aja terus, nanti kalo saya pergi jangan sampe kangen.” ujar Devan
“Kek perginya nggak mau balik lagi aja.”
“Iya juga sih, saya kan nggak bisa jauh-jauh dari kamu.”
“Bucin banget.”
“Bucin?”
“Budak cinta.” Jawab Sarah
Devan mengangguk. “Daripada kamu budak korporat.” Ujarnya tanpa beban. Kembali memasukan makanan dalam mulutnya dengan santai.
•
•
•
Tim nunggu anaknya Devan launching?
KAMU SEDANG MEMBACA
STRANGE BOSS
RandomSarah Adinda. Adalah seorang sekretaris, ralat budak korporat dari seorang laki-laki bernama Devan. Mendadak dituduh selingkuh saat pergi kencan buta oleh bossnya sendiri. Padahal keduanya sedang tidak terlibat hubungan apapun. Saat kencan buta mi...