Gelas Capuccino itu tumpah mengenai pergelangan tanganku. Aku sedikit menjerit, dan wanita muda yang tak sengaja menumpahkan minumannya itu segera membantuku sambil berkali-kali meminta maaf.
17 September 2021, London masih tetap sama, dingin dan tanpa Harry. Meski lenganku terasa terbakar, meski hari ini aku mengenakan mantel yang sangat tebal, bahkan meski aku mendapatkan email dari Niall yang mengatakan Harry akan melamarku, aku masih mengigil karena musim dingin itu tak pernah pergi dari hatiku.
Aku bangkit dari dudukku yang sejak tadi sedang menikmati matcha latte di cafetaria kesukaanku, membiarkan beberapa waiter untuk membereskan kekacauan cappuccino lalu kembali duduk dengan tenang setelahnya. Suara bel dari pintu masuk membuatku melirikkan mataku kearah sana. Pria dengan mantel coklat dan celana kain hitamnya berjalan kearahku sambil tersenyum. Wangi parfumnya mengingatkanku pada Harry.
Lalu aku kembali menyalakan macbookku, menampilkan sebuah email yang sampai padaku tadi malam, dan membalikkan posisi macbookku menjadi menghadapnya. Senyumnya segera pudar setelah itu, ia terdiam lama melihat tulisan-tulisan di layar macbookku, yang tak lain dan tak bukan adalah tulisannya sendiri di lima tahun lalu.
“Oh, so today is the day,” ujarnya, setelah sekian lama diam.
“He's about to propose me.” jawabku penuh penyesalan.
Ia tak menjawab. Menatap lama kearah jendela sambil tersenyum kecil. Kurasa, saat ini kepalanya sedang berkelana jauh ke lima tahun lalu, tahun dimana semuanya masih terasa sangat membahagiakan dan sempurna.
Kami semua masih punya perasaan itu meski sudah lama sekali ia pergi.
A grief.
Setiap kali namanya disebut, atau setiap kali suatu hal mengingatkan kami tentangnya, kami hampir tak pernah tahu apa yang harus dikatakan, atau dilakukan. Lalu berakhir dengan diam, membiarkan rasa berkabung itu kembali muncul dan berakhir dengan tersenyum pedih.
“Aku masih memiliki cincinnya. Aku tahu seharusnya aku mengatakan hal ini lebih awal padamu, tapi aku tidak bisa. Aku memang menunggu sampai emailku sampai padamu, dan aku akan memberikan cincinnya besok, jika kau mau menyimpannya.”
Ia menatapku, penuh dengan penyesalan dan mungkin berharap aku akan mengerti. Oh Niall, aku memang mengerti. You're the only one to say that im such an understanding person.
Lantas aku tersenyum kecil, menarik laptopku dan segera menutupnya.
“We're bestfriend now.” ujarku, merubah senyumanku menjadi tawa. Dan ia ikut tertawa.
“We are.”
Setidaknya, satu dari beberapa harapan Niall bisa terkabulkan. Meski sebenarnya, tidak hanya satu.
“Since when you received all of this email?”
“A long ago.”
“How many?” tanyanya lagi.
“Yours is my twenty email.”
Niall bilang, ia berharap kita akan menjadi teman yang baik di hari ini, dan tidak yakin jika ia masih bersama dengan Amel. lalu memprediksi hal bodoh jika aku sudah menikah dengan Harry. Yang pada realitanya, ia masih bersama dengan Amel, sedangkan Harry meninggalkanku.
“Kau pikir apa yang akan dia katakan di email terakhirnya?” tanyaku, yang pada kenyataannya tidak pernah menginginkan email ini akan berakhir dengan ucapan selamat tinggal juga.
“I wondering the same things,” jawabnya lagi, lalu setelah itu kami mengobrol tentang pernikahannya dengan Amel yang tiga bulan lagi akan dilaksanakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
nostalgia h.s
FanfictionNostalgia, what a funny feelings. -Calamity 39 Email yang di terima Kenya Winter, lima tahun setelah kematian kekasihnya, Harry Styles.