Bagian 26 - Sebuah kebenaran

66 2 0
                                    

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 
[Buang yang buruk dan ambil yang baik]

♡♡♡

Alan mengembalikan cincin tersebut tanpa ekspresi sama sekali. Kembali pada awal bahwa sebenarnya dirinya itu adalah Alin, kembaran saudaranya yang sudah lama meninggal.

Mendapati cincin yang dikembalikan, perempuan itu bertanya dan lagi-lagi Alin tidak bisa menjawabnya.

“Gue tahu lo balikin ini karena sekarang punya istri, tetapi lo kenapa harus tega ninggalin gue setelah keluarga lo nolak hubungan kita Alan?” tanya perempuan itu yang sepertinya emosinya akan memuncak.

“Baik, kalo lo masih tidak ingin menjawab pertanyaan gue.” sambung perempuan itu dengan menaruh kembali cincin tersebut ke dalam tasnya dan mulai berdiri berniat untuk pergi.

Alin mendongak, entah kenapa ia tidak ingin berdiri untuk sekedar mengantar perempuan itu untuk keluar dari rumahnya ini.

Perempuan itu terkejut bukan main, dia sama sekali melihat sebuah perbedaan besar tentang Alin yang berada di hadapannya dengan Alan yang ia kenal dulu. Namun karena sudah kecewa berat, dia lansung pergi  tanpa mengatakan pamit terlebih dahulu.

Melihat kepergiannya, Alin bernafas legah. Pada akhirnya dia terlepas dari drama yang saudaranya buat di masa lalu dan tidak ia ketahui. Namun karena saat ini dia masih menamakan samar dirinya dengan nama saudaranya, terpaksa dia harus menanggungnya dan hanya dua cara yang dapat ia gunakan. Mengungkap dirinya sebagai Alin, atau menanggung hidup sebagai Alan, saudara kembarnya.

****

Alan pergi ke kamar untuk istirahat setelah lama berperang batin dengan pikirannya itu. Semakin dekat dengan pintu kamar, perlahan suara tangisan juga semakin keras di dengarnya.

Refleks Alan lansung membuka pintunya dan melihat sang istri sedang menangis sesegukan dengan posisi duduk dan kepala yang ia tenggelamkan dalam lipatan tangannya.

“Sayang, kamu kenapa?” tanya Alan lansung mengusap-usap bahu Ima yang sedikit bergetar karena sesegukan.

Ima tidak ingin menjawab, emosinya masih belum stabil untuk mengutarakan penyebab kenapa ia menangis. Sedangkan Alan mulai mengerti, dia membiarkan istrinya menangis sampai dirasa mulai tenang.

Beberapa menit kemudian, tangis Ima mulai mereda. Alan lansung menuntun istrinya itu untuk bangun dan duduk di pinggiran kasur bersamanya untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi.

“Kamu kenapa nangis? Apa yang sudah terjadi?” tanya Alan dengan lembut. Dia masih setia menatap sang istri yang sama sekali tidak ingin menatapnya.

“Siapa perempuan tadi? Aku sudah dengar semuanya.” akhirnya Ima membuka suara dan balik menyodorkan pertanyaan kepada suaminya.

Alan mendesah pelan, dugaannya memang benar kalau istrinya menangis karena salah paham terhadapnya.

“Perempuan tadi tunangan saudaraku.” jawab Alin memilih untuk jujur saja. Dia juga sudah lelah harus menyembunyikan rahasia yang seharusnya sudah dulu orang tuanya beritahukan kepada mertuanya itu.

Ima terkejut sekaligus bingung, suaminya ini memiliki saudara? Setahu dia, sang suami hanya anak tunggal. Lalu jika memang benar perempuan tadi tunangan saudara suaminya dulu, kenapa mengatakan hal itu pada suaminya? Ima benar-benar kebingungan.

“Sayang, kali ini aku akan jujur dan aku harap kamu tidak membenciku karena itu. Apa kamu bisa?” tanya Alin menatap sang istri dengan penuh harap.

Ima membalas tatapan itu dengan sorot mata kebingungan, namun dia memilih mengangguk saja.

Alin mulai menceritakannya dengan hati-hati dan keseriusan.

****

3 tahun yang lalu...

Hari itu adalah hari dimana Alan masih berumur 16 tahun. Ternyata sejak kecil, kedua orangtuanya sudah menjodohkannya dengan anak dari temannya tersebut.

Pertemuan pertama pun saat Alan menemui Ima hanya biasa saja dan menganggap Ima sebagai adiknya sendiri. Walaupun sebenarnya dia sudah paham mengapa kedua orang tuanya mengajaknya ke rumah itu.

Namun karena pada saat itu Alin yang merupakan kembarannya sedang tidak ingin ikut mereka mengunjungi rumah Ima, akhirnya mereka tidak menceritakan perihal saudara anaknya karena larut dalam perbincangan tersebut dan alhasil keluarga Ima pun menganggap bahwa Alan adalah anak tunggal dari keluarganya.

Setelah pertemuan itu beberapa hari kemudian, tepatnya di malam hari. Alan pamit untuk keluar rumah mengendarai mobil sang ayah untuk menemui temannya, dimana keduanya sudah janjian untuk bertemu. Namun pada saat di perjalanan, dirinya berhenti sembari menunggu lampu merah berubah menjadi hijau dan secara tiba-tiba sebuah mobil damkar menabraknya dari belakang yang menyebabkan semua kendaraan yang berada di lampu lalu lintas tersebut terdorong ke depan. Alan sontak terkejut dan mobilnya yang berada paling belakang akhirnya dihimpit oleh mobil damkar tersebut dan Alan meninggal di tempat dengan wajah hancur setengah dan tubuhnya yang berlumuran darah akibat pecahan kaca mobilnya yang berhasil menancap di seluruh tubuhnya itu.

Keluarganya yang mendengar itu lansung pergi menemui putranya yang sudah terbujur kaku di rumah sakit dengan luka yang sudah diobati dan tubuhnya yang kini sudah dibaluti oleh kain kafan. Alin dan keluarganya merasa terpukul dan sangat kehilangan Alan. Namun apalah daya, ini sudah merupakan garis takdir tuhan yang diberikan kepada keluarganya. Keesokan harinya pun jenazah Alan dikuburkan dan tangisan keluarganya terus mengiringi sesi pemakaman di hari itu, tepatnya hari Jum'at.

Karena takut akan kabar kematian putranya sampai di telinga keluarga Ima, dengan cepat keluarganya mengabarkan bahwa mereka akan pindah kota untuk sementara waktu. Alin sempat menolak dan memberi saran agar kedua orang tuanya berbicara jujur saja, namun orang tuanya masih kekeh untuk pergi ke luar kota dengan alasan takut keluarga dari pihak Ima mengira keluarga Alan tidak bertanggung jawab atas janjinya.

Dan beberapa tahun kemudian keluarga Alin kembali dengan status nama Alin berubah menjadi nama alhamarhum kembarannya yaitu Alan Ardibrata. Mereka pun lalu memutuskan untuk melanjutkan perjodohan keduanya tanpa diketahui siapapun bahwa Alan yang saat ini bukanlah Alan yang sebenarnya, namun Alin Ardibrata kembaran almarhum.

****

Ima yang selesai menyimak cerita itu lantas bangun dan tidak percaya bahwa hal yang dikatakan suaminya itu benar adanya.

“Mas, kamu--” ucap Ima terpenganga dengan tangan menutupi mulutnya, namun Alin memotongnya ucapannya.

“Iya Ima, kami adalah saudara kembar. Dan yang seharusnya bersamamu saat ini adalah almarhum kakakku bukan diriku. Maaf sudah membohongimu selama ini, aku sungguh tidak tahu harus bagaimana sebelumnya.” ungkap Alin menunduk merasa sangat bersalah dan malu. Namun nasi sudah menjadi bubur, hubungan mereka berdua sudah terlanjur dalam meski akhirnya ada kenyataan pahit yang harus diterima.

Ima masih berusaha tenang, lalu dengan hati-hati berbicara, dia mengatakan permintaan kepada suaminya itu.

“Lantas jika memang perkataanmu benar, aku ingin menemui makam kakakmu saat ini juga.” pintanya membuat Alin yang semula menunduk, kini menatap wajah istrinya.

“Ima---”

Sekali lagi Ima mengangguk, mencoba menyakinkan bahwa dirinya ingin bertemu makam saudara suaminya itu.

“Iya, aku ingin bertemu dengannya untuk terakhir kalinya.” sambung Ima berusaha mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja atas permintaannya.

“Aku akan mengantarkanmu.”

[To Be Continued]

Alim ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang