Empat hari yang lalu...
Rutinitas Nayla setiap bulannya adalah mengunjungi toko buku. Minimal sekali sebulan wajib. Tergantung stok bukunya di rumah. Jika cepat selesai bacanya bisa sampai dua atau tiga kali. Si pintar Nayla memang langganan juara umum di sekolah. Tapi, bukan berarti hidupnya hanya dipenuhi buku pelajaran. Selingan tentang cerita cinta monyet perlu sesekali. Karena ia sadar hidupnya tak seindah novel. Setidaknya ia bisa mengkhayal dengan tokoh fiksi yang diciptakan penulis.
Setelah berkeliling sejenak, ia akhirnya menemukan buku incarannya dari bulan lalu. Namun buku itu cukup tunggi untuk ia jangkau. Sekarang bukan saatnya menyalahi tinggi badannya, lebih baik ia memikirkan cara agar bisa mendapatkannya. Matanya menerawang ke sekeliling berusaha menemukan kursi atau semacamnya. Beruntung ia menemukan sebuah kursi bar setinggi lutut di salah satu sudut. Ia buru-buru mengambilnya sebelum yang lain mendapatkannya.
Setelah menempatkannya dengan benar dan yakin, ia mulai menjajakan kakinya di atas kursi tersebut. Tangannya berusaha meraih dan berhasil. Namun, ia tak langsung turun karena matanya sudah terpaku pada sebuah buku bersampul kuning. Matanya berbinar seketika. Buku Most Wanted tahun ini ada di depan mata. Sudah lama ia mencari-carinya, tapi selalu habis terjual. Hampir saja Nayla melompat sebelum dia ingat dimana kakinya berpijak.
Buku itu berada tepat di rak paling atas. Sial, tangannya terlalu pendek untuk menjangkaunya. Semaksimal mungkin ia menjinjit, menjulangkan tangannya tinggi-tinggi. Telunjuk dan ibu jarinya berhasil menjapit ujung buku, kini ia hanya perlu mengerahkan seluruh tenaga untuk menariknya keluar.
Sepenuhnya ia terfokus pada buku tersebut tanpa sadar pijakan kakinya sudah tak seimbang membuat kursinya goyang dan berakhir ambruk. Disertai jeritan kecil, Nayla memilih menutup matanya sebelum tubuhnya menubruk lantai dan merasakan sakit setelahnya.
Tapi, sesuatu yang janggal terjadi. 'Apa yang terjadi? Kok ngak kerasa sakit, sih? Apa jangan-jangan gue udah mati?' batinnya.
Perlahan ia membuka kedua matanya. Seorang pria tampan kini beradu tatap dengannya. Keduanya tak bersuara tanpa sepatah katapun yang keluar. Sejenak Nayla terpesona. Namun, beberapa detik kemudian momen dramatis itu berakhir tragis. Pria itu dengan tega melepas Nayla dari gendongannya, sehingga tubuhnya menubruk lantai. Padahal ia mulai berpikir bahwa hidup yang ia impikan baru saja dimulai.
"Aw, sakit!" ringisnya, mengusap pinggangnya yang kesakitan.
"Lo, gila, ya!" cerca Nayla kesal.
Bukannya merasa bersalah, pria itu malah pergi meninggalkan Nayla. Ternyata semua pria sama saja.
"Eh, lo, mau kemana? Pinggang gue gimana, nih? Hei!" teriak Nayla yang tak digubris.
Pria itu sama sekali tak menoleh. Ia terus berjalan hingga punggungnya menghilang di balik rak buku. Sementara Nayla masih meratapi nasibnya yang sial hari ini. Berharap punggungnya tak patah.
"Nyebelin banget, sih! Bukannya tanggung jawab malah kabur. Awas aja kalo sampai ketemu lagi!" gerutu Nayla sembari memegangi punggungnya." Aduh, pinggang gue."
**
Sejak saat itu ia sangat membencinya. Belum lagi ia sampai harus ke tukang urut untuk mengobatinya. Mengingatnya saja membuat Nayla ngilu. Dan kemarin entah mengapa mereka kembali bertemu. Sikap dinginnya membuat Nayla frustasi. Bukankah seharusnya dia berterima kasih karena sudah menolongnya? Tapi, cowok itu malah balik menyerangnya dengan kata-kata menyakitkan.
'Memangnya aku memintamu menolongku?'
Hah, seharusnya ia mendorongnya saja kembali sampai celaka. Siapa peduli dia mati, lagian itu juga bukan urusananya. Nayla tak akan lupa bagaimana kata-kata itu menginjak-nginjak hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of seventeen
Teen FictionSelamat membaca! Tolong tinggalkan komen dan saran agar penulis dapat berkembang