Bab 31

1 0 0
                                    

"Jadi untuk mencari nilai proton ataupun electron dalam suatu larutan kita bisa menggunakan tabel periodik untuk mempermudahnya."

Wanita tua yang kini berumur lebih empat puluh tahun itu menjelaskan dengan lancar di depan kelas. Beberapa siswa tampak menyimak sambil sesekali mencatat. Tapi, tidak dengan Daniel. Cowok itu terus termenung sejak jam pertama. Tidak terlihat seperti Daniel biasanya.

Bukannya wanita tua itu tidak tahu, ia hanya saja ingin mengabaikannya sesaat. Karena Daniel termasuk murid yang akhir-akhir ini mencuri perhatiannya. Kelihaiannya setiap kali diminta penjelasan membuatnya tertarik pada murid barunya itu.

Tapi waktunya tinggal setengah jam lagi sebelum bel dering, tak ada tanda-tanda dia ingin menyudahi lamunannya.

"Daniel!" tegur wanita itu membuat Daniel sedikit terperanjat.

"Apa kamu dengar yang saya jelaskan tadi?"

Dengan sangat jujur, Daniel menggeleng. "Kamu ini sebenarnya kenapa? Saya perhatikan dari tadi melamun saja."

Daniel diam, tidak menyahut pertanyaan wanita itu. Ia mendesah. "Sekarang kamu berdiri di luar!" perintah wanita itu yang tak mendapat bantahan apa pun dari Daniel. Beberapa cewek berseru heran, serta merasa sedih karena cowok tampan itu harus di hukum.

Nayla menatap punggung yang kini menghilang dibalik pintu. Sejak pagi tadi cowok itu tidak sama sekali mengajaknya bicara. Wajahnya terlihat murung. Nayla merasa ada sesuatu yang terjadi padanya.

"Sekarang perhatikan kembali ke depan, waktu kita tinggal sedikit." Wanita itu mengetuk-ngetukkan spidol di papan tulis.

Wanita tua itu kembali menjelaskan di papan tulis. Sementara itu Nayla mulai memikirkan Daniel. Apa cowok itu baik-baik saja? Apa sesuatu terjadi padanya? Berbagai pertanyaan berkerumun di otaknya. Apa hanya perasaannya saja? Tapi, ia sedikit mengkhawatirkannya.

&&&&

Nayla berkeliling ke seluruh penjuru sekolah hanya untuk menemukan Daniel. Sejak di hukum berdiri di luar kelas, dia sudah tak melihatnya lagi. Daniel tak terlihat di mana pun. Awalnya dia berpikir jika cowok itu berada di kantin. Tapi, di kantin pun ia tak ditemukan.

"Kemana dia pergi?" Nayla menerka-nerka tempat yang tersisa yang belum sempat ia datangi. Kemudian Nayla teringat atap sekolah. Mungkin saja pria itu di sana. Nayla segera berangkat menuju atap.

Saat tiba di sana ia bisa melihat ada seseorang yang tengah duduk di atas bangku. Nayla yakin itu Daniel. Kakinya mengendap-ngendap berniat mengejutkannya, ketika hampir dekat dia bersiap untuk menepuk bahunya. Namun, mendadak suaranya tercekat di tenggorokan saat melihat air mata di pipi Daniel. Cowok itu buru-buru menyapu air matanya. Tak ingin Nayla melihat kondisinya saat ini.

"Lo nangis?"

Nayla merutuki dirinya. Ya jelas dia nagis, Nay. Bodoh. lebih baik gue pergi sekarang. Dia pasti butuh waktu untuk sendiri.

"So-sorry gue ngak tahu. Kayaknya lo butuh waktu sendiri, gue bakalan pergi sekarang." Nayla berbalik bersiap pergi, tapi tiba-tiba tangannya ditarik. Kedua tangan Daniel melingkar di pinggangnya, meletakkan kepalanya mendekat pada perut Nayla. Gadis itu membeku dengan kedua tangan mengepal. Ia sempat lupa bagaimana bernapas sejenak. Terus apa kabar dengan jantungnya? Tentu tidak baik-baik saja. Hanya kedua matanya yang mampu berkedip berusaha mencerna situasi yang terjadi.

"Jangan pergi! Biarin gue gini sebentar."

Nayla merasakan pelukan Daniel mengerat. Sepertinya cowok itu sedang ada masalah. Perlahan ia menjatuhkan tangannya di kepala cowok itu, mengelusnya dengan lembut. Memandang sekitar, membiarkan Daniel mencurahkan tangisannya. Rasanya tak tega melihat pria yang Nayla kira selama ini kuat, rapuh di depan matanya. Pasti masalahnya cukup berat. Pikir Nayla.

&&&

Hatinya masih belum sepenuhnya membaik saat pulang. Dan itu semakin memburuk ketika dia sudah tidak menemukan Camelia di segala penjuru ruangan. Hanya ada kesunyian tanpa sapaan hangat. Bukannya dia sudah biasa seperti ini? Sekarang kenapa dia merasa sedih?

Ia menghela napas pelan lantas melangkahkan kaki menuju kamar. Abian muncul dari balik pintu, menghampirinya.

"Niel, tunggu!" Daniel menghentikan langkahnya, menoleh pada Abian yang mendekat.

"Nih, buat lo." Abian menyodorkan sebuah surat ke hadapan Daniel. "Dari tante." Daniel meraihnya, alih-alih membaca isi suratnya ia hanya meletakkan surat itu di atas nakas.

Abian masih berdiri di tempatnya. Terpikir untuk menyampaikan sesuatu pada sepupunya.
"Niel, gue mau ngomong sesuatu sama lo."

Daniel berbalik mengahadap Abian dengan kedua tangan bersembunyi di balik saku celana. "Ngomong aja."

Abian menghela napasnya sejenak. "Gue tahu lo masih marah sama tante. Tapi, lo harus tahu walau sesibuk apapun dia selalu nyempetin buat jenguk lo."

Daniel tampak tak tertarik dengan pembicaraan ini.

"Mungkin lo ngak tahu kalo tante pulang setiap minggu."

Sebelah alis Daniel naik. "Setiap minggu?"

Abian mengangguk.

"Tahu dari mana lo?"

"Gue lihat sendiri. Lo tahu kan gue sering terjaga tengah malam. Setiap gue ke belakang tu selalu ada suara aneh dari kamar tante. Awalnya gue abain aja, tapi kemudian gue mulai penasaran dan gue coba liat ternyata tante pulang. Dia terus pulang setiap minggu cuman buat liat lo. Dia datang ke kamar lo dan liat lo dari jauh. Lo pasti juga ngak sadar kalo bunga yang ada di meja makan selalu terganti. Mungkin karena bunganya selalu sama."

Daniel baru teringat pada bunga mawar yang berada di meja makan selalu segar. Sebenarnya dia sempat berpikir bagaimana mungkin bunga mawar yang tidak pernah diurusnya itu bisa terus segar.

"Gue harap lo bisa menghapus rasa benci lo itu." Abian mengambil jeda sejenak. "Kalo gitu gue pergi dulu. Ada yang perlu gue beli."

Daniel buru-buru meraih surat itu begitu Abian menghilang. Melangkah menuju kamarnya.

'Daniel, Mama minta maaf. Mama tahu Mama bukan Mama yang baik buat kamu. Mama baik mana yang selalu meninggalkan anaknya bukan? Kamu pasti benci sekali sama Mama. Mama paham. Tapi, itu ngak mengurangi sedikit pun rasa sayang Mama sama kamu. Kamu satu-satunya yang Mama punya. Mama mungkin ngak bisa berjanji untuk ngak pergi lagi, tapi Mama akan berusaha untuk pulang lebih cepat agar kita bisa bersama lebih lama. Mama akan berusaha agar kita bisa terus bersama selamanya. Mama sayang kamu."

Bunyi surat yang di tuliskan Camelia untuknya membuat hatinya yang beku meleleh. Perlahan air mata yang tak terbendung kembali tumpah. Tak seharusnya dia bersikap dingin seperti itu pada Camelia.

Daniel menghapus air matanya saat melihat deringan ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan dari Camelia masuk. "Halo Daniel!" sapa suara di seberang sana.

"Halo, Ma!"

"Syukurlah kamu mau jawab." Terdapat jeda sejenak sebelum kalimatnya berlanjut. "Daniel, Mama minta maaf."

Daniel tak langsung menjawab, ia terdiam sejenak."Hm, Daniel juga minta maaf, Ma."

Pembicaraan itu berlanjut hangat. Hubungan yang tadinya sempat merenggang kini perlahan membaik.

"Daniel bakal terus nungguin Mama."

Cameliadiujung telpon tersenyum. Hatinya menghangat. Daniel kini tak lagi marahpadanya. Dan itu lebih dari cukup. Ia baru sadar jika anaknya ini sudah dewasa.

Diary of seventeenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang