Mentari bersinar cukup terik pagi ini, panasnya terasa menyengat walau jam masih menunjukkan pukul delapan pagi. Untungnya upacara bendera yang rutin dilakukan setiap hari senin itu tak berlangsung lama. Tapi, para laki-laki diminta menunggu sejenak untuk masuk ke kelas. Tiba-tiba pak Beno, guru olahraga itu membariskan mereka untuk melakukan pengecekan mendadak. Bagi mereka yang berambut tak sesuai standar yang telah ditetapkan sekolah, maka tak ada ampun hari ini.
"Saya sudah memperingati kalian berkali-kali, tapi tampaknya tidak ada yang mendengarkan. Terpaksa saya harus terjun ke lapangan sendiri hari ini atas permintaan kalian. Saya juga sudah lama ingin melakukan hal ini," jelas pak Beno membuat kumpulan lelaki itu mendesah gusar.
Abian yang berada di antara barisan tampak gelisah. Nasib rambutnya harus berakhir hari ini, ia sama sekali tak bisa membayangkannya. Sebenarnya Abian sudah berulang kali ditegur, dan berulang kali juga lolos dari hukuman. Namun, kali ini pria itu benar-benar tak memberi celah bagi siapa pun untuk kabur. Mereka semua dikurung di gudang, sementara kuncinya disembunyikan dibalik saku pria itu. Pak Beno memang sudah lama mengintainya, Abian yakin rambutnya akan berakhir miris kali ini.
Pak Beno mengambil peralatan cukurnya. Abian menatap horor pada mesin cukur yang kini berada di genggamannya. Pria tua itu segera menghubungkan mesin itu pada stop kontak membuat benda itu bekerja.
"Semuanya berbaris!" perintah Pak Beno.
Semuanya tampak pasrah dan segera berbaris sesuai perintah. Entah bagaimana hasilnya, mereka hanya bisa berdoa. Abian memilih berdiri di barisan paling belakang berusaha keras menghindar walau tampaknya percuma. Perlahan barisan itu kian menyusut dan Abian semakin dekat dengan nasib buruknya. Abian melirik sekilas pada beberapa siswa yang sudah dicukur. Ia melongo menatap betapa licin kepala mereka sekarang.
"Selanjutnya!"
Tampaknya cowok itu tak mendengar panggilan itu karena sibuk menatap kawanan di ujung sana yang sudah selesai.
"Abian cepat kesini!" perintah pak Beno dengan nada tegas.
Mendengar namanya dipanggil membuatnya tersentak kaget. Ia menatap lurus pada Pak Beno yang menunggunya untuk mendekat.
"Cepat kamu kesini!" perintah pak Beno ketiga kalinya.
Ia menelan ludahnya susah payah, lalu melangkah perlahan menghampiri pak Beno.
"Cepat!" serunya yang sudah tak sabaran.
Abian mempercepat langkahnya, lalu duduk di kursi yang sudah disiapkan. Pak Beno pun langsung memulai aksinya, ia menyelimuti tubuh Abian dengan kain licin, diikuti dengan suara mesin cukur yang menyala.
"Tunggu Pak!" ujar Abian mendadak.
"Kenapa?" tanya Pak Beno tegas sambil memegang mesin cukur di sebelah tangannya.
Abian menatap sekilas pada mesin cukur yang berjarak hanya beberapa senti dari wajahnya. "Sepertinya saya harus ke kamar mandi sebentar." Alasannya agar bisa kabur. Ia masih tak bisa membayangkan jika rambutnya dipangkas. Membayangkan hasilnya saja sudah membuat perutnya mulas.
Abian hendak bangkit, namun pria itu buru-buru mencengkram pundaknya. "Duduk! Saya sudah tahu apa yang ada dipikiran kamu, pasti mau kabur kan?"
"Ng-ngak, Pak."
Pak Beno sudah tak mau mendengar alasan apa pun darinya. Bulu kuduk Abian meremang saat merasakan mensin pencukur itu mulai bekerja. Abian menelan ludahnya susah payah.
"Pak, tolong jangan potong terlalu pendek." Pak Beno bungkam, tak peduli. Ia sibuk mencukur rambut Abian bagian belakang. "Rambut saya tumbuhnya lama, Pak." Abian mencoba sebisanya untuk berkomproni dengan pria tua itu. Namun, tampaknya usahanya sia-sia. Ia terpaksa menggunakan cara terakhir. Abian bangkit dari kursinya, bersimpuh di hadapan pria tua itu. Pak Beno melongo menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of seventeen
Novela JuvenilSelamat membaca! Tolong tinggalkan komen dan saran agar penulis dapat berkembang