Nayla terengah-engah dalam lariannya. Matahari kian kentara memancarkan cahayanya membuat peluh kian deras membasahi tubuh. Di lapangan luas itu ia harus berlari mengitarinya sebanyak sepuluh kali. Dua putaran saja sudah membuatnya sesak napas, apalagi sepuluh putaran.
"Hah, rasanya mau mati!" Nayla memilih berhenti sejenak setelah berhasil menaklukkan lima putaran. Kedua tangannya bertumpu pada lutut sambil menormalkan deru napasnya yang tak beraturan.
Gadis yang menjadi alasan keterlambatannya pagi ini menghampiri. Andai ia tak merengek bolos mungkin mereka masih bisa mengejar lima menit lebih cepat.
"Ini semua gara-gara lo!" ketus Nayla tanpa menoleh.
Cewek itu menegakkan tubuhnya menatap tak terima pada kembarannya. "Lah, kok gue yang salah? Lo juga salah. Udah tahu telat, tapi tetap aja ngeyel sekolah!" cerca Kayla tak mau kalah. "Tahulah si paling rajin," tambahnya dengan muka sewot. Ia lantas memilih kembali berlari bersama teman-temannya yang bernasib sama membiarkan Nayla seorang diri.
Kayla sudah menawarkan untuk bolos hari ini. Mengingat ini hari pertama, berdasarkan pengalamannya tak banyak murid yang hadir. Guru bahkan tak masuk mengajar. Tapi, alasannya itu ditolak mentah-mentah. Belum lagi Nayla mengancamnya akan melaporkan pada Renata membuat Kayla semakin geram dan tak punya pilihan lain. Padahal ia baru saja bermimpi indah dengan Oppa kesayangannya dari drama korea yang akhir-akhir ini ia tonton.
Nayla menarik napas dalam-dalam. Berusaha mengontrol emosinya. Mereka hanya beda lima belas menit. Tapi, Nayla heran kenapa semuanya berbeda? Mulai dari wajah sampai perilaku. Nayla bahkan sempat berpikir jika mereka bukanlah saudara kandung. Siapa tahu mereka tertukar. Pikirnya selalu saat mereka mulai beradu mulut.
Baru saja Nayla kembali berlari mendadak ia berhenti lagi. Pandangannya berubah nanar saat menatap saudarinya yang ambruk. Semuanya merapat tak terkecuali Pak Beno yang sedari tadi memantau dari sudut lapangan. Nayla memaksakan kesadarannya kembali dan segera menghampiri kerumunan.
"Kay, bangun!" ucap Nayla khawatir sambil menepuk-nepuk pelan pipi Kayla.
"Semuanya, ayo bantu angkat Kayla ke ruang UKS!" perintah pria berkumis tebal itu.
Bersama-sama mereka mengangkat tubuh Kayla ke ruang UKS. Mata Nayla sedikit berkaca-kaca dalam perjalanannya ke ruang UKS. Ia berusaha menahannya agar tak tumpah.
Begitu mereka selesai membaringkannya di atas kasur, Pak Beno menyuruh semuanya bubar, kecuali Nayla. Nayla mengurut pelipisnya frustasi. Menatap khawatir pada kembarannya yang terbaring.
"Apa mereka udah pergi?"
Nayla mengangkat wajahnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Ia terperangah menatap gadis yang kini dengan santai duduk sambil menerawang ke sekeliling. Mulutnya sedikit menganga tak percaya.
"Lo... pura-pura pingsan?"
Dengan santai Kayla mengangguk. "Mau gimana lagi? Kaki gue sakit, udah ngak sanggup. Daripada gue pingsan beneran ya gue pura-pura aja!"
Nayla tertawa miris. Menatap kelakuan saudarinya yang memang selalu sesat. Padahal dia sudah sangat khawatir. Rasanya ingin sekali mencekiknya saat itu. Tapi buat apa buang-buang tenaga untuknya. Ia menjitak kepala Kayla sekilas, lalu pergi tanpa memedulikan ringisannya.
"Sakit! Main pergi aja lagi. Seharusnya lo berterimakasih sama gue, bukannya malah dijitak," gerutunya dengan bibir yang merengut.
Nayla tak menghiraukannya. Ia terus melangkah sampai hilang dari balik pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of seventeen
Novela JuvenilSelamat membaca! Tolong tinggalkan komen dan saran agar penulis dapat berkembang