Nayla mulai berpikir untuk mandi kembang setelah ini. Semenjak kelas dua dia terus dijumpai kesialan. Mungkin bagi sebagian teman kelasnya sekelompok dengan Daniel adalah surga. Tapi, berbanding terbalik dengannya.
Memang setelah beberapa kali cowok itu menolongnya, rasa bencinya terhadap cowok itu mulai berkurang. Namun, tetap saja kecanggungan masih belum menipis sedikit pun. Dan sialnya lagi kelompoknya hanya terdiri dari dua orang. Sungguh malang nasibnya.
Di mal dekat rumah Nayla, mereka menyusuri satu persatu toko untuk mencari bahan yang diperlukan. Nayla yang sudah muak dengan kecanggungan akhirnya berdehem untuk membuka obrolan.
"Ehm, lo punya ide lain ngak selain corak abstrak?"tanya Nayla melirik sekilas pada Daniel.
"Ngak."
Nayla mendengus, rasanya menyesal telah mengajaknya bicara.
Mereka kembali terdiam beberapa saat hingga Nayla melihat restoran yang biasa dikunjunginya. Perutnya mendadak lapar.
"Eh, kita makan dulu ya? Gue laper banget." Tanpa meminta persetujuan dari Daniel, Nayla sudah melongos terlebih dahulu ke dalam. Mau tidak mau Daniel mengikuti dari belakang.
"Lo mau makan apa?" Tanya Nayla yang sedang melihat-lihat buku menu.
"Gue ngak lapar."
"Beneran? Nanti lo lapar, loh, liat gue makan," goda Nayla.
"Ngak, makasih."
"Ok."Nayla tidak ingin berbasa-basi terlalu lama. Dia langsung saja memanggil pelayan dan memesankan makanan. Tak lama, semangkuk ramen dengan jus jeruk datang.
Nayla sudah sedia dengan sumpit di tangan kanannya, lalu melahap mie itu dengan nikmat. Sementara Daniel sibuk dengan ponselnya. Rasa pedas dari ramen serta segarnya jus jeruk menjadikannya kombinasi terbaik. Dan tak lupa cuaca di luar yang panas juga mendukung.
Ketika sibuk melahap mienya, Nayla tidak sengaja mendengar sesuatu bergemuruh. Tapi, itu bukan berasal dari perutnya. Dia menoleh pada Daniel yang berdehem sejenak tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
"Lo lapar?"
"Ngak."
"Tapi, tadi bunyi pe-"
"Bukan gue," sergahnya cepat.
Nayla tidak ingin berdebat, dia kembali ke rutinitas makannya. Namun, suara itu kembali berbunyi. Nayla yakin betul itu berasal dari perut Daniel.
"Lo lapar kan?" tanya Nayla mengulang pertanyaan sebelumnya.
"Ng..." kalimatnya terputus di udara karena Nayla sudah terlebih dahulu menyumpal mulutnya dengan mie.
"Kunyah!"perintah Nayla melihat Daniel yang sejenak membeku dengan mata membulat.
Sesuai intruksi, cowok itu mengunyah mienya perlahan lalu menelannya. Nayla tahu, jika dia hanya gengsi saja. Wajah dinginnya tidak akan mempan untuk Nayla merasa takut atau pun segan padanya.
"Kalo lapar ya bilang lapar, ngak usah gengsi," celetuk Nayla yang siap menyuap mie nya kembali.
"Gue ngak lapar!" bantah cowok itu keras kepala.
"Iya. Tapi, perut lo bunyi terus dan itu ganggu banget," sahut Nayla dengan mulut penuh.
"Gue udah bilang sama lo, kalo itu bukan suara perut gue." Daniel masih tetap bersikeras menyangkal.
Nayla tidak menanggapi dia sibuk menghabiskan makanannya. Daniel yang merasa kesal pun bangkit pergi.
"Eh, lo, mau kemana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of seventeen
Fiksi RemajaSelamat membaca! Tolong tinggalkan komen dan saran agar penulis dapat berkembang