Curiosity has been answered

2.4K 380 92
                                    

"Rumahnya Hanif gede, ya." Kata Jana disela-sela makannya, yang langsung mendapat anggukan setuju oleh Kala.

Rumahnya Hanif dan Hadif itu sangat besar, mungkin lebih luas dari lapangan bola dengan bangunan dua lantai. Ketika sampai disana kemarin, Jana tak hentinya terkagum-kagum, walau wajahnya datar dan memilih diam, jeritan hati Jana tak bisa ia hindarkan.

"Rumah gue gak ada apa-apanya." Sambung Jana, membuat Kala yang sedang makan hampir tersembur keluar, "Gue kalo Jadian sama Hanif, jadi nyonya besar nih. Tiap hari beli produk Gucci, Prada, Chanel." Ucapnya dibarengi kekehan pelan.

Kala juga tertawa dibuatnya, "Lo terdengar pengen nguasain hartanya."

"Berandai-andai aja dulu." Jawab Jana singkat. Menepikan nampan makanannya, Jana sudah selesai makan siang. Jana melipat tangannya dimeja, asik bercerita sambil menunggu Kala selesai.

"Lo kayaknya bakal kaget kalo tau ini." Ucapan Kala membuat Jana penasaran, kepala lelaki itu menoleh kanan dan kiri, memastikan kalau tak ada orang lain yang mendengar obrolan mereka. "Hanif itu pewaris utama keluarganya." Sudah Kala duga kalau reaksi Jana itu sangat berlebihan, sekarang ia menutup mulutnya dan terdiam, apa gerangan yang lelaki ini pikirkan.

"Dia mimpin perusahaan ayahnya, jadi ketua yayasan sekolah ini, apalagi ya," Kala terlihat berfikir sejenak, "Masih banyak kayaknya, tapi gue lupa."

Jana benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, bagaimana bisa seorang yang berharga seperti Hanif malah mendekatinya, Hanif bahkan pantas mendapatkan seorang putri terbaik tanah air atau model dengan kecantikan diatas rata-rata. Mulai hari ini Jana akan bertingkah baik pada Hanif, pantas saja lelaki itu diperlakukan layaknya pangeran, ternyata aset bangsa.

Memijit pelipisnya pelan, yang Jana lakukan adalah membayangkan betapa kayanya ia kalau bersama Hanif nanti. "Pantesan dia jadi ketua osis." Ujar Jana.

Kala mengangguk, "Dia tuh dipilih tau, gak nyalonin diri."

"Dia nyalon sendiri pun udah pasti menang." Tambah Jana, ya memang benar sih, siapa yang tak suka Hanif di sekolah ini, lelaki itu tak banyak berulah saja fansnya banyak. "Kalau Hadif, gimana?"

Kala meneguk minumnya pelan, "Kalau Hadif, gue gak begitu tau, mungkin pegang bisnis yang lain. Bisnis keluarganya itu banyak."

Mengangguk-anggukan kepalanya sesaat, Jana bisa menilai sih kalau Hadif tak begitu tertarik dengan urusan perusahaan, terlihat sekali lelaki itu bahkan enggan membuka bukunya atau sekedar mendengarkan guru menjelaskan, yang dilakukannya adalah tidur dan kadang bolos pelajaran. Beruntunglah lelaki itu memiliki Hanif disisinya, yang bisa saja mengajarinya segala pelajaran di sekolah, Jana jadi semakin kagum pada Hanif.

"Kala, gue boleh tanya lagi?" Pertanyaan itu mendapat anggukan kepala oleh Kala, Jana mendekatkan kepalanya dan memelankan suaranya, "Waktu gue baru pindah kemaren, kenapa lo selalu bilang kalo gue jangan sampe terlibat sama keduanya?"

Kala diam, sedangkan Jana masih terus menuntut jawaban dari lelaki itu, "Panjang sih ceritanya." Jawabnya pelan, "Lo mau bolos?"

Tentu saja Jana mengangguk semangat untuk itu. Baginya saat ini, penting mengetahui keduanya sebelum terlibat lebih jauh. Semoga saja Jana tak salah langkah.

Bolos pelajaran yang Jana pikirkan sebelumnya adalah mereka pergi ke rooftop sekolah atau ke tempat lainnya yang masih bagian dari sekolah untuk menunggu jam pelajaran selesai, tapi Kala malah mengajaknya ke rumah lelaki itu, kalau begini namanya pulang, tapi keduanya tetap bisa dibilang bolos sih.

Jana tak habis pikir dengan ide Kala ini, ia pikir Kala adalah siswa yang ambis, tapi ternyata sama saja dengan dirinya.

"Kenapa gak di sekolah aja sih?" Tanya Jana penasaran.

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang