First impressions

2.4K 391 123
                                    

Weekend yang benar-benar seru menurut Jana, hari ini ia berenang sekaligus melihat pemandangan ibu kota yang indah dari atas gedung ini, ditambah lagi ia bisa bersantai seharian dengan Hadif sebagai teman ngobrolnya.

Jana itu tidak memiliki banyak teman, sekolah yang berpindah-pindah membuatnya tak bisa berteman dekat dengan siapapun, ditambah lagi Jana ini susah sekali bersosialisasi, membuatnya tak memiliki teman ngobrol dan selalu sendirian.

Merebahkan tubuhnya dikasur empuk kamar ini, Jana memainkan ponselnya, melihat berbagai video lucu disuatu aplikasi.

Hadif membuka pintu kamar, Jana mengalihkan pandangannya dari ponsel, "Makan disini apa makan diluar?" Tanya lelaki itu.

Terlihat berfikir sesaat, "Disini aja." Jawab Jana akhirnya.

Mengetikkan sesuatu diponselnya, Hadif lalu mendekati Jana dan berbaring disisi ranjang yang lain, "Nonton apa sih?"

"Dilarang kepo."

Jawaban dari Jana itu membuat Hadif terkekeh, lalu kembali sibuk dengan ponsel. Mata Hadif sesekali melihat Jana yang memunggunginya, "Jan." Panggilnya, yang dipanggil hanya berdehem singkat. "Gue mau tau dong, first impressions lu ke gue?"

Jana terlihat mematikan ponsel, lalu berbalik, menoleh sedikit pada Hadif yang berbaring disebelahnya. Lelaki ini lantas bangkit, dan bersandar pada bantal yang disusun sedikit tinggi, "Lo itu serem." Katanya, Hadif dengan cepat menoleh, "Serius, aura lo tuh mencekam, ngerti gak sih, kalo deket lo rasanya gak bisa gerak, gak bisa ngomong, pokoknya gue takut sama lo." Ungkap Jana jujur.

Namun Hadif terlihat tak terima dengan itu, "Dih, gue gak begitu." Protesnya, "Lu yang lebay."

"Kan yang menilai gue, kok lo yang marah." Heran Jana, padahal Hadif yang bertanya, malah dia yang terlihat kesal sendiri. "Gue juga mau tau dong, first impressions lo ke gue."

Hadif mengedikkan bahunya pelan, "Lu keliatan aneh." Jawabnya, lantas saja mendapat pelototan mata dari Jana.

"Kurang ajar." Jana melemparkan satu bantal pada Hadif, dengan sigap lelaki itu sedikit berguling kesamping menghindari bantal yang ada ditangan Jana.

Hadif masih tertawa, "Tapi gue cukup penasaran, karna lu deket sama Hanif."

Jana yang menyanggah kepalanya dengan tangan kiri memberikan tatapan bingung pada Hadif yang sedang menatap langit-langit kamar, "Gue sering chattingan sama Hanif soal ekskul, makanya deket."

"Setau gue ya, lu itu orang pertama yang dideketin Hanif semenjak SMA." Ucapan Hadif itu sedikit membuat Jana menyunggingkan senyum, "Hanif tuh ambis banget, kalo udah masuk kamar, berarti udah gak bisa diganggu lagi."

"Kok bisa sih? Gue bahkan gak ada motivasi buat belajar." Jana terkekeh, sedikit lucu mengetahui dirinya dan Hanif sangat berbanding terbalik.

Jana bisa melihat senyum dibibir Hadif tak selebar sebelumnya, "Menurut gue, dia orang yang keren, orang yang gue andelin banget semenjak Mama gak ada."

Ikut merebahkan kepalanya dikasur seperti yang Hadif lakukan, Jana menatap langit-langit kamar, "Kalian berdua orang yang keren kok, bertahan dan saling nguatin satu sama lain, gue yakin Hanif juga pasti bangga punya lo disisinya."

Tatapan teduh Jana itu seakan membuat Hadif terbius, entahlah kapan terakhir kali dirinya merasa nyaman dan damai, tapi hari ini bersama Jana, Hadif merasakan perasaan yang sudah lama hilang.

Hadif tersenyum simpul, bahkan ia tak yakin Jana bisa melihat senyumnya, karna Hadif segera bangkit dan duduk ditepian ranjang, mata Jana itu memabukkan, Hadif tak mau melakukan hal bodoh seperti yang ia lakukan terakhir kali di rooftop sekolah.

"Gue rasa makanannya udah siap." Hadif berjalan pelan keluar kamar, dengan Jana yang masih menatap lelaki itu heran.

"Telinganya merah."

Hati Jana sedikit tergelitik melihat satu meja besar dengan banyak makanan ditepian kolam renang, belum lagi lilin-lilin kecil yang banyak sekali dan kelopak bunga mawar menghiasi air kolam.

"Jan, sumpah kayaknya mereka ngira lu pacar gue." Hadif panik, beberapa kali mengetikkan sesuatu diponselnya dengan sesekali mondar-mandir ditempatnya.

Jana bahkan tak bisa berkata-kata, takjub dengan pemandangan yang baru pertama kali ia lihat langsung seperti ini, bukan kah ini seperti makan malam romantis? Jana hampir tertawa.

"Kita makan diluar aja." Hadif baru saja hendak menarik pergelangan tangan Jana, tapi Jana lebih dulu memegang lengannya, membuat lelaki itu terdiam bingung.

"Gapapa, kita makan disini aja." Jana berjalan mendahului, "Kasian udah disiapin malah gak dimakan."

Hadif terpejam frustasi, tapi tetap mengikuti Jana setelahnya. Hadif mengambil duduk tepat didepan Jana, dengan wajah gusar, kakinya terus bergerak tak mau diam, Hadif hanya takut Jana berfikiran macam-macam dan tak nyaman dengan suasana sekarang ini.

Namun senyum cerah Jana itu mampu membuat Hadif menghela nafasnya, "Makan diluar aja, kita cari restoran deket sini."

Tawa Jana pecah, apalagi wajah frustasi Hadif itu begitu lucu, "Gapapa, disini aja." Ujarnya, "Anggep aja ini simulasi makan malem romantis sama pacar lo."

Mendengar itu Hadif menaikkan alis, yang benar saja Jana kalau ngomong, batinnya.

"Jana, inget." Ucapan Hadif membuat Jana menatapnya, "Gue bolehin lu kesini dan pake tempat ini, tapi gue gak bolehin lu kasih tau orang lain soal tempat gue ini."

Jana mengangguk patuh, "Rahasia aman." Katanya, Jana tersenyum lebar, melihat deretan makanan enak didepannya ini bagaimana bisa dirinya tak bahagia, kapan lagi ia bisa makan enak apalagi ini gratis, sungguh nikmat duniawi.

Hadif meneguk pelan minuman yang telah disediakan, sedangkan Jana telah mencoba berbagai makanan yang ada dimeja besar ini, menghela nafasnya, Hadif menoleh kesamping kanan, terlihat beberapa staff hotel yang memberikan jempolnya pada Hadif yang dibalas lelaki itu dengan dengusan malas.

Baru saja hendak mencoba sup yang ada dimangkuknya, Hadif dengan bingung menatap lampu-lampu yang mendadak menyala dan suasana disini menjadi terang, tak temaram seperti sebelumnya, lalu dari arah belakang Jana datang seseorang dengan membawa saksofon, berdiri tak jauh dari meja keduanya dengan mulai memainkan instrumen lagu Right here waiting for you.

Jana sungguh terkejut sampai menutup mulutnya, tak menyangka kalau staff Hadif mempersiapkan semuanya sampai sejauh ini. Sedangkan Hadif didepannya sudah memijit pelipis, mendadak pening.

Tawa pelan dari Jana membuat Hadif mengangkat kepala, "Hadif makasih, mungkin ini kejadian yang gak bakal bisa gue lupain." Ucap Jana dengan tawa yang tak bisa berhenti.

Hadif lagi dan lagi menghembuskan nafas berat, ingatkan ia nanti untuk memecat Agus dan staff lainnya yang terlibat.

Hadif lagi dan lagi menghembuskan nafas berat, ingatkan ia nanti untuk memecat Agus dan staff lainnya yang terlibat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued...

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang