He calls me babe

2.3K 367 131
                                    

"Mikirin apaan sih?"

Kala memegang pundak Jana yang duduk terdiam di taman sekolah, mata Jana mengerjap beberapa kali, "Ngagetin aja." Ucapnya, yang malah membuat Kala terkekeh.

"Gue liat, tadi lo makan di kantin bareng Hanif Hadif." Kala melipat kakinya, sedikit tersenyum pada Jana yang terlihat bingung, "Anak baru makan bareng anak emasnya sekolah."

Terdengar helaan nafas dari samping, Jana juga tak yakin menyebutnya dengan makan bersama, ia bahkan tak menikmati makanannya sama sekali, entah kenapa kehadiran Hanif diantara dirinya dan Hadif sedikit membuatnya tak nyaman, sekarang Jana ragu apakah Hatinya masih pada Hanif atau sudah berpaling ke orang lain.

"Hadif, kan?"

"Apa?" Jana dengan cepat bertanya.

"Jawaban pertanyaan gue waktu di rumah lo itu, Hadif kan?" Kala menjelaskan, Jana merasa tak yakin siapa yang lebih baik diantara Hanif dan Hadif.

Tak urung Jana menatap Kala serius, "Kenapa lo selalu nanya gue dengan pertanyaan kayak gitu?"

"Lo harus menilai." Jawaban Kala semakin membuat Jana mengerutkan alis kebingungan, "Jana, lo pikir gak ada alesan kenapa Hanif sampe sekarang belum pernah pacaran padahal dia sesempurna itu, dan pastinya banyak yang suka dia."

Jana terdiam, "Kenapa?" Tanyanya pelan, tak bohong Kala selalu saja membuatnya penasaran.

"Karena yang tahan deketan sama dia kayaknya cuma lo doang." Kala terlihat tak main-main dengan ucapannya, wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang serius, "Hanif itu pengatur, mungkin kebiasaan memimpin perusahaan Ayahnya, atau mimpin anak-anak OSIS, sifat pemimpin yang suka ngatur-ngatur orang jadi melekat sama Hanif, pokoknya kalo kata dia itu ya kita mau gak mau harus itu, dia gak suka dibantah."

Ucapan Kala dibenarkan Jana dalam hati, walau Hanif tak banyak mengaturnya, tapi pernah sekali lelaki itu menyuruh Jana memakan sayuran dan mengurangi membeli jajanan bersama Hadif.

"Pernah dulu dia deket sama kakak kelas, kayaknya cuma bertahan seminggu deh. Ya siapa juga yang betah apa-apa diatur."

Diam mendengarkan ucapan Kala, Jana sebenarnya sedang berfikir, perlukah ia menjauhi Hanif? Sebelum hal-hal yang tak Jana sukai terjadi, seperti diatur-atur, Jana tak suka dengan aturan.

Menghela nafasnya lagi, Jana menepuk pundak Kala pelan membuat lelaki disebelah Jana ini kebingungan, "Lo kenapa gak bilang dari awal sih alesan kenapa gue harus jauhin si kembar, kalo udah sejauh ini gue harus gimana njir." Rengeknya.

"Gue udah bilang."

"Tapi lo gak bilang alesannya, Kala."

Kala hanya mengedikkan bahu acuh, "Gue cuma pengen lo percaya sama gue, Jana, kalo apa yang gue bilang itu bener." Ucapnya, "Tapi sekarang, lo udah terlambat."

Jana memiringkan kepala, "Terlambat?"

Anggukan kepala dari Kala semakin membuat Jana kebingungan, tapi bukannya menjelaskan apapun pada Jana, Kala bersiap bangkit hendak pergi dari sana, namun sebelum itu, Jana dengan segera meraih pergelangan tangan Kala membuat lelaki itu menghela nafas pelan, lalu tangannya tergerak menepuk pundak Jana, "Gue tau lo kuat."

Baru saja Jana hendak berbelok ke kanan menuju kelasnya yang terletak diujung, lelaki ini terdiam mematung ditempatnya. Jauh didepan kelas sana, Hadif berdiri dengan memegang tas miliknya juga milik Jana yang ada ditangan kirinya, dan beberapa langkah didepan lelaki itu berdiri Raysa, terlihat mengajak Hadif berbicara.

Mata Jana dan Hadif beradu pandang untuk beberapa saat, sampai akhirnya lelaki yang berdiri diujung memberikan senyum kecil pada Jana yang terlihat kebingungan.

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang