Memarkirkan motor kesayangannya di garasi, Hadif mulai melangkah masuk ke rumah, diiringi senyum tipis dibibirnya, lelaki ini bersenandung pelan, guna mengalihkan rasa senangnya yang membuncah didada.
Tadi itu, Hadif hanya mengajak Jana berjalan-jalan, tidak menaiki mobilnya, mereka berdua mencoba menaiki kendaraan umum seperti bus, dan angkutan umum yang sangat Hadif tak suka, dan berfikir kalau hari ini adalah kali pertama dan terakhirnya menggunakan kendaraan umum tersebut.
Karena lelaki ini digoda oleh Ibu-ibu genit yang duduk menghadapnya, membuat Jana tak berhenti menertawakan ekspresi masam Hadif yang mendadak ingin turun, padahal tujuan keduanya masih lumayan jauh.
Hari ini juga kali pertama bagi Hadif mencoba jajanan tepi jalan, kalau ia tak salah namanya telur gulung, dan masih banyak lagi, tapi Hadif lupa nama-nama jajanan tersebut.
Hadif senang kala Jana menarik tangannya dengan perasaan yang meluap-luap, matanya berbinar melihat banyak sekali makanan didepannya, bahkan mungkin Jana sudah mencoba semuanya. Hadif senang kalau Jana senang, tak murung seperti tadi saat berada di sekolah.
"Habis dari mana?" Hanif yang datang dari arah dapur dengan membawa satu gelas air putih berdiri didepan Hadif, menatap penasaran pada sang kembaran yang senyumnya merekah, seperti ada sesuatu yang membuat hatinya senang.
Hadif menaikan sebelah alis, "Biasalah." Ujarnya pelan, sangat tak menjawab rasa penasaran Hanif.
Hanif lantas duduk disalah satu kursi didepan Hadif, menaruh gelasnya dimeja, "Habis dari mana?" Tanya lelaki itu lagi.
Kali ini, Hadif tak bisa menyembunyikan rasa bingungnya ditanyai Hanif seperti ini, lelaki yang lebih tua darinya 5 menit ini jarang sekali bertanya perihal apapun yang Hadif lakukan, mereka berdua itu bebas, tak ada tuntutan dari sang Ayah yang mengharuskan keduanya menjadi seperti apa yang Ayahnya mau, mereka dibebaskan memilih jalannya sendiri. Tapi Hanif yang seperti ini membuat Hadif tak nyaman, "Kenapa nanya?" Tanyanya balik.
"Lo hari ini punya jadwal balapan, Dif. Bukan lo banget yang tiba-tiba ngundur jadwal." Hanif meraih gelasnya, hendak pergi, takut kalau makin lama ia disini, keduanya akan bertengkar.
Sedangkan Hadif tersenyum miring diseberang, "Sejak kapan lo jadi pengen tau urusan orang lain." Ucap Hadif cepat sebelum Hanif semakin jauh, "Urus aja urusan lo, urusan gue biar gue yang ngatur." Lanjutnya, lalu lebih dulu melangkahkan kaki menuju kamarnya dilantai dua.
—
Seorang lelaki paruh baya, kepercayaan keluarga Sabiru sudah berada dikamar Hadif sekarang, membawa satu buah amplop coklat yang Hadif yakini berkas yang ia minta beberapa hari yang lalu.
"Jadi namanya Jaryandi Kelana, Direktur utama JK company." Sang informan mulai berbicara, "Namanya tercatat sebagai pegawai resmi Tuan Besar sebelum perusahaan lama mengalami krisis, tapi namanya hilang saat perusahaan lama bangkrut, jejaknya tak lagi terlihat diberkas manapun." Beliau menyerahkan berlembar kertas-kertas kehadapan Hadif, "Jaryandi Kelana tercatat pernah tinggal di Singapura, sebelumnya juga berpindah-pindah, Indonesia, Jerman, lalu kembali ke Indonesia lagi sebelum stay di Singapura selama dua tahun."
Hadif diam, pantas lah ia merasa wajah Ayah Jana sedikit familiar, apa jangan-jangan keduanya pernah bertemu sebelum ini? Hadif tak terlalu ingat, tapi mengetahui Ayah Jana adalah mantan karyawan Ayahnya, Hadif sedikit yakin kalau mereka pernah bertemu sebelumnya.
"Beliau juga memiliki satu anak laki-laki bernama Arjana Kelana, namun saya tak bisa menemukan informasi Ibunya, karna Jaryandi Kelana ini tak memiliki catatan pernikahan sebelumnya."
Mata Hadif membulat, "Ayahnya gak ada catatan pernikahan?"
"Ya, Tuan."
Bagaimana bisa?
Hadif menutup berkas ditangannya, "Pak, mungkin gak, Jaryandi Kelana ini orang yang nipu Papa dulu?"
Beliau diam beberapa saat, setelahnya mengangguk pelan, "Mungkin, Tuan. Karna Beliau adalah karyawan Tuan Besar sebelumnya, apalagi namanya tercatat sebagai pegawai sebelum masa krisis perusahaan lama."
Diam sesaat, rasanya hati Hadif sedikit mencelos. Dirinya tak segigih Hanif ingin mengungkap orang yang telah menipu Ayahnya dahulu, ketika ia dan sang kembaran masih sangat kecil, yang mengakibatkan sang Ibu stress berat dan sakit parah, lalu meninggal dunia karna tak segera ditangani akibat keterbatasan biaya. Hadif memang kesal dan kecewa, namun tak sekecewa Hanif.
Entahlah apa yang akan terjadi kalau lelaki itu tau tentang ini, "Pak, Hanif tau tentang ini?" Tanya Hadif pelan.
"Tidak, Tuan. Tuan Hanif tak tau tentang ini."
Memejamkan matanya sesaat, Hadif menghela nafas berat, "Rahasiakan."
"Baik, Tuan."
—
Hati Hadif rasanya kacau, memang belum pasti Ayah Jana pelakunya, tapi mengetahui dia lah kandidat terkuat saat ini, Hadif tak bisa tenang, bagaimana kalau Hanif menghancurkan hidup Jana? Bagaimana kalau Hanif berbuat yang tidak-tidak nantinya? Bagaimana kalau Jana tak sekuat Raysa ketika mendapat cibiran warga sekolah?
Hadif khawatir.
Entahlah sampai kapan bisa merahasiakan ini, mungkin akan beresiko untuknya nanti, tapi setidaknya Hadif telah mencoba menjaga Jana, dengan caranya ini.
Matanya masih terjaga pukul 2 pagi, duduk sendirian dimeja makan, pikiran Hadif berkelana, banyak sekali kemungkinan-kemungkinan buruk yang bermunculan, Hadif harus segera menyelidiki ini semua, sebelum Hanif tau dan malah memperkeruh suasana.
"Belum tidur?"
Hadif tersentak, Hanif dengan mata sayunya berjalan menuju meja makan, hendak mengisi air digelasnya yang kosong.
Hadif menghela nafas, "Tidur kali, Nif. Gak belajar sehari pun gak bakal bikin lo bodoh. Stop nyiksa diri sendiri."
Lelaki itu malah terkekeh pelan, "Gue harus pinter, Dif." Ucapnya, "Biar bisa mimpin perusahaan Papa, gue gak mau kejadian yang menimpa keluarga kita kemaren malah terjadi lagi." Hanif membuat Hadif terdiam, "Manusia sekarang taktik nipunya udah jago-jago dan pinter, makanya kita harus lebih pinter dari mereka."
Hadif tak bergeming ditempatnya, membuat Hanif menepuk bahu sang kembaran, "Tidur, apasih yang lo pikirin." Katanya sebelum pergi.
Banyak yang Hadif pikirkan sampai tak bisa menutup matanya barang sesaat, memikirkan Ayahnya, memikirkan Jana, memikirkan Hanif dan segala kemungkinan yang bisa kembarannya itu lakukan, jujur saja, Hadif tak pernah setakut ini.
Hadif lagi-lagi menghela nafas panjang, mulai beranjak dari duduknya, "Asal Hanif belum tau, semuanya aman." Ucapnya pelan, lalu mulai berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
FanfictionHajeongwoo area. Sekolah baru dan kehidupan baru bagi Jana. (130522) - (200922) highest rank : #1 haruwoo 06/10/22 #1 bxb 12/01/23 #1 lokal 04/11/23 #2 treasure 12/01/23 #2 haruwoo 18/05/23 #2 rujeongwoo 07/06/23 #3 treasure 14/01/23 #3 haruwoo 17/0...