Between Hanif and Hadif

2.2K 347 105
                                    

"Tolong jangan bodoh ya, Tuan Hadif yang terhormat. Tolong untuk dipikirkan dengan mateng, dampak buruknya buat kita semua ke depan."

Alis Hadif menyatu, Kala menelfonnya tiba-tiba ditengah malam ketika ia hampir saja akan tidur, dan mengomeli Hadif tiada henti tanpa tau apa yang ia bicarakan. "Lu mabuk atau gimana? Salah sambung kali."

"Gak, bener. Gue pengen nelfon lo, feeling gue nih ya lo sekarang habis ngelakuin sesuatu yang bodoh, makanya gue nelfon."

"Lu mata-matain gue ya, atau lu pasang penyadap suara di rumah gue?" Tanya Hadif, dengan kepala yang celingak-celinguk menatap sekitar kamarnya.

"Gak ada Dif, ya Tuhanku." Kala diam sejenak, terdengar helaan nafas diseberang, "Dif, maaf banget nih ya, TAPI TOLONG JANGAN BERTINGKAH BODOH, PLEASE LAKUIN APA YANG GUE SURUH JANGAN BANYAK NGIDE." Kala yang teriak-teriak ditelfon tentu saja membuat Hadif kaget, lalu sambungan yang dimatikan secara sepihak juga semakin membuatnya bingung, lelaki ini lalu bangkit dari duduknya, memeriksa apapun disekitar, takut Kala benar-benar memata-matainya.

Hadif menghela nafas pelan setelahnya ketika tak menemukan apapun di kamar besar ini. Hadif hanya bisa mempercayai Kala sekarang, tak bisa ia memutuskan sesuatu semaunya tanpa berbicara dengan lelaki itu, Hadif kembali ke tempat tidurnya, menarik selimut dan perlahan memejamkan mata.

Mungkin menyerahkan Jana pada Hanif bukanlah ide yang bagus.

Jana baru saja sampai di kelas, menatap curiga pada Kala dan Hadif yang tiba-tiba diam ketika menyadari kedatangannya, "Kalian ngapain?" Jana menatap curiga pada dua orang yang berada didepannya ini.

Berdehem pelan, Kala bangkit, "Gue kayaknya dipanggil Bu Erika." Langsung saja lelaki itu berlalu, tanpa mengindahkan panggilan Jana yang meneriakkan namanya.

Lalu Hadif, tatapan lembut itu ia berikan pada Jana yang berada tepat didepannya, duduk dikursi yang dulu pernah diisi Raysa. Hadif tersenyum, Jana juga menempati posisi yang dulu diisi Raysa dihatinya, "Kenapa?" Tanya Hadif ketika Jana tak kunjung menanyainya.

Mengedikkan bahunya pelan, "Lo aneh." Jawab Jana, lalu berbalik melihat kedepan sana, ditatap oleh Hadif seperti tadi sedikit membuatnya salah tingkah.

Tapi melihat Jana seperti itu malah membuat Hadif mengembangkan senyumnya, maka dari arah kanan Jana, lelaki ini menyembulkan kepala, mengganggu Jana yang sepertinya sedang membaca buku Kimia miliknya, "Lu udah sarapan?"

Jana terperanjat, "Hadif, Ya Tuhan, lo ngagetin gue." Katanya pelan sembari mengelus dada, "Udah, stop ganggu gue."

Tak sampai disitu, Hadif pindah ke kursi didepan Jana yang masih kosong, karna pemiliknya belum memasuki kelas, "Eum—hari ini, lu mau gak... makan bareng... gue?"

Jana tentu saja mengerutkan dahi melihat tingkah Hadif yang tak seperti biasanya, "Lo kenapa sih, pake nanya segala, biasanya juga makan siang bareng di kantin."

"Kali ini gue mau ajak lu makan siang di luar."

Jana menatap curiga, "Tumben?"

Hadif terdiam sesaat, mencari alasan agar tak terkesan aneh karna mengajak Jana makan diluar sekolah, "Err—gue habis menang taruhan sama Kala, ya gue taruhan, terus menang."

"Terus, lo mau traktir gue makan?"

Pertanyaan Jana itu hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh Hadif, dan senyum Jana yang mengembang pertanda baik, bahwa lelaki ini menyetujui ajakannya.

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang