Saka menatap langit-langit kamar entah sejak kapan, mungkin sudah berjam-jam. Otaknya begitu aktif berpikir.
Kepalanya kini mangut-mangut samar. "Ah, Puspa udah mau 19 tahun minggu depan, kata mami Puspa memang telat setahun karena sakit waktu SD," gumamnya dengan lega.
Saka masih saja terganggu dengan status Puspa yang masih SMA walau sebentar lagi akan lulus.
Rasanya dia melakukan tindak kriminal dengan menyentuh anak di bawah umur, padahal Puspa sudah punya KTP juga.
Saka meyakinkan diri kalau tindakannya itu sangatlah wajar, mereka sudah sah menikah. Dia tidak akan membuat drama untuk tidak menyentuh istrinya.
Saka menyugar rambutnya sambil mendudukan tubuh dan langsung menatap Puspa yang masih terlelap di bawah selimut tebal itu.
Pastinya dengan keadaan polos.
Puspa sampai mendengkur karena kelelahan.
Saka mengusap kening Puspa sekilas, senyum tipis samar terbit. Setelah melakukan malam pertama, rasanya Saka mampu menerima kalau Puspa bukanlah lagi adiknya.
Puspa mengerang pelan, mengubah posisi sedikit lalu kembali hanyut dalam lingkaran mimpi.
Saka mendekatkan wajahnya ke pipi Puspa, mengecupnya ringan lalu beranjak turun dan menuju kamar mandi.
***
"OM! Ini ga bisa ditutup!" rengek Puspa dengan jengkel dan terlihat seperti hendak menangis.
Saka menghela nafas, setelah malam panjang mereka kenapa bisa Puspa tidak ada malu atau apapun itu.
Suaranya malah semakin menggelegar. Padahal dibayangan Saka pasti Puspa malu dan bersuara pelan.
"Maaf.." Saka mengusap bahu Puspa yang langsung ditepis dengan kesal.
"Udah bikin Puspa hampir pingsan, ditambah leher merah-merah gini kayak bekas cupang!" dumelnya.
Saka kembali menghela nafas, itu bukan kayak bekas cupang tapi memang bekas cupang. Kepala Saka menggeleng samar tanpa sadar.
Saka melilitkan kedua lengan ke leher Puspa. "Maaf, saya terlalu semangat," sesalnya. Maklum, dia sudah lama menahan jadi kelepasan.
Puspa masih misuh-misuh, untung di mata Saka tingkahnya itu terlihat menggemaskan.
Saka mengecup sudut bibir Puspa. "Ayo, udah mau jam setengah tujuh.. Nanti kita telat." setelahnya berjalan meninggalkan kamar dan Puspa.
Puspa menyudahi acara menutup jejak Saka di lehernya lalu menyusul Saka dengan langkah yang agak tak biasa.
Puspa mengabaikan rasa baru itu, mencoba terlihat baik-baik saja.
"Dasar kuda jahanam! Kuda ga berprikemanu—hewanan! Kuda ganas! Kuda ngegas!" gumamnya dengan membawa langkah menuruni tangga, wajahnya di tekuk sebal lalu meringis. "sshh.. Ga nyaman." lanjutnya sambil memelankan langkahnya.
"Udah tahu hari senin, kenapa mintanya ga malam jum'at sih?! Dasar duda!" sambungnya lalu berhenti ngomel sendiri saat Saka berada di sampingnya.
Puspa menerima roti selai coklat itu dari Saka. "Loh.. Pada kemana? Kok sepi?" herannya.
Saka menyimpan rotinya lalu mendekati Puspa. "Rumah ini saya booking, kalau ga gitu pasti jeritan kamu semalem bocor.." bisiknya.
Puspa melotot dengan kedua pipi mulai memerah dan panas. Apa? Booking? Gila!
"Ihh, om ihh!" di pukulnya bahu Saka sebal. "Puspa ga ngejerit tuh pas waktu awal-awal, yang kedua kalinya aja yang gitu, om ganas sih! Udah tahu Puspa masih baru, minta terus! Punya Puspa sampe bengkak! Pegel! Bahkan Puspa mau pingsan semalem!" celotehnya marah dengan tanpa sadar frontal.
Saka kicep, menatap Puspa dengan rasa geli dan gemas yang di tahan. Dia jadi malu sendiri mendengar kejujuran Puspa yang tidak ada jaim-jaimnya itu.
Saka memijat hidung, tiba-tiba pening karena di serang keuwuan Puspa dari malam hingga pagi.
"Dada Puspa juga sakit! Kenapa om gigit-gigit sih?! Ga leher ga dada.." celotehnya.
Saka memejamkan matanya sekilas. "Stop Puspa, kamu ga malu?" herannya.
"Kenapa harus malu? Yang ga suami istri aja abis kuda-kudaan ga malu tuh! Puspa malah mau lagi walau sakit.."
Saka tergelak, menatap Puspa tak percaya walau detik berikutnya melipat bibir yang hendak tersenyum lebar saking gemasnya dengan ABG di depannya.
Saka tidak kuat dengan kebar-baran Puspa yang menggemaskan.
"Makan sarapannya." Saka mulai kembali fokus pada roti.
Puspa meraih roti itu lalu menggigitnya cukup besar, mengunyah pelan lalu melirik Saka.
"Punya om ternyata gede ya.." kekeh Puspa dengan mulut penuh roti.
Saka sontak terbatuk.
***
Puspa masih cekikikan, menatap jalanan lewat jendela mobil. Lucu sekali saat mengingat wajah Saka tadi.
"Om—" Puspa menoleh, menatap Saka yang fokus menyetir. "Segede itu kok bisa muat ya? Pantes sih sakit," lanjutnya.
Saka menghela nafas pelan, Puspa ternyata masih berada di topik itu. Saka mengabaikannya.
Ga lucu kalau dia terangsang sebelum ngajar, ga akan ada waktu untuk seret sang istri agar melayaninya.
"Jadi kayak gitu rasanya seks.. Sakit sih, tapi emang ada enaknya juga,"
"Stop bahas itu, Puspa. Nanti kalau di rumah, kita sekarang sedang ke sekolah,"
Puspa terkekeh. "Emang kenapa? Om mau lagi ya?" ledeknya.
"Kamu ga malu bahasnya?" Saka melirik sekilas, penasaran juga.
Puspa menatap lurus jalanan. "Engga, Puspa dikasih tahu sama mami kalau om minta ya itu wajar.. Selama seminggu Puspa di kasih petuah sama para orang tua, khususnya para ibu-ibu.." jelasnya kalem.
Puspa malas saja bikin drama, selagi hasilnya positif, memberinya pahala maka dia akan melaksanakannya. Kalau saja tidak khilaf wkwk..
Saka tersenyum samar, dia pikir Puspa akan menjadi istri paling ribet yang susah diatur, mengingat usia Puspa yang menurutnya belum saatnya menikah.
Ternyata Puspa diluar dugaan,
"Soal baby S, kamu ga masalah?"
Puspa menoleh, manatap Saka yang begitu segar. Apa benar Saka sudah hampir kepala 3? Kok muda sekali.
"Kenapa harus jadi masalah? Om aja ga masalah urus bayi, Puspa juga harus ikut kayak om."
Saka melebarkan senyumnya. "Makasih, Puspa. Saya ga nyesel nikahin anak SMA akhir.." jujurnya.
Puspa ikut tertular senyuman. "Ah om bikin baver aja.." balasnya lebay.
Saka menggeleng samar dengan senyum geli.
"Jadi, siapa bunda baby S? Om kenapa bisa pisah? Puspa boleh tahukan?"
Saka mengangguk. "Nanti, di rumah baru cerita." jawabnya.
Puspa pun mengangguk, lagi pula tidak mungkin membahas hal yang pasti bukan hal singkat. Ditambah mereka sudah sampai di sekolah.
"Makasih, om. Puspa turun," Pamitnya setelah melepas sabuk pengaman.
Saka mencekal lengan Puspa. "Salam dulu, kita bukan guru sama murid kalau berdua." ujarnya.
Puspa tersipu. "Ah iya.." diraih jemari Saka lalu dia cium sekilas punggung tangannya.
Saka tersenyum tipis lalu meraih kepala Puspa untuk dia kecup kening dan pipinya.
"Belajar yang bener, semoga saat upacara kamu ga papa,"
"Puspa ga bisa ikut upacara."
Saka tidak mendebat, itu sudah keputusan Puspa yang berhak atas tubuhnya sendiri. Pasti Puspa masih belum sanggup berdiri hampir 2 jam.