Puspa masih saja manyun, dia marah pada Saka yang mempermalukannya di kelas. Puspa terlihat bodoh saat di kelas tadi. Menyebalkan!
Lihat saja! Puspa akan membalas dengan tidak akan memberi jatah seperti novel yang pernah Puspa baca, membuat Saka tersiksa menahan gairahnya dan memohon untuk bisa menyentuhnya.
Puspa tertawa jahat dalam hati disertai tersenyum miring, dengan yakin dia akan mewujudkan pemikirannya.
"Serem banget senyumnya," Saka pun duduk di samping Puspa yang tengah menonton televisi. "Perasaan filmnya sedih," herannya.
Puspa sontak membuat jarak, wajahnya di pasang jutek.
Saka melirik jarak yang Puspa buat, dia di ujung dan Puspa pun kini di ujung sofa. Senyum samar terbit. Manisnya Puspa kalau marah. Kekanakan tapi Saka suka.
"Kalau ga mau kayak tadi, kamu harusnya bisa fokus belajar, fokus ke suami yang di sana itu sebagai guru yang perlu diperhatikan," Saka mengikis jarak, mendekat pelahan.
Puspa melirik garang, bagai kucing yang begitu sensitif tidak mau didekati saat melihat pergerakan Saka.
"Puspa lagi marah ya sama, om! Apapun alasannya Puspa ga peduli dan akan tetep marah!" Puspa pun beranjak, dia akan ke kamar saja. Langkahnya dia hentak-hentak kesal.
Saka menatap kepergian Puspa dengan senyum geli, ada enaknya memiliki istri sebelia Puspa. Dia jadi ada hiburan, marahnya kan lucu.
Tidak ada atraksi piring terbang atau saling adu mulut dan mempertahankan ego masing-masing.
Yang ada hanya Puspa yang manyun dan itu lucu. Wajah marahnya malah manis terkesan seksi. Dia pun hanya perlu membujuk.
Saka menyugar rambutnya dengan mengulum senyum. Saatnya dia membujuk Puspa.
***
Puspa memakan martabaknya walau masih memasang wajah jutek. Soal perut dia tidak akan bisa abai.
Saka mengunyah dengan mengulum senyum samar, Puspa memang akan gampang dibujuk jika itu oleh makanan.
Tidak perlu pusing membeli tas mewah yang menguras dompet. Martabak atau sate ayam saja sudah berhasil.
"Ini rasa keju, kesukaan kamu," Saka mengangsurkannya penuh perhatian sebagai upaya membujuk.
Puspa melirik, agak ragu dan gengsi namun tetap saja dia ambil karena jujur saja Puspa sedari tadi hidungnya kembang kempis tidak sabar menunggu Saka menawarkan rasa keju.
Saka semakin berseri-seri gemas.
"Tapi Puspa masih marah ya sama om!" sewotnya dengan menekuk wajah serius.
Saka mengangguk sambil mengulum senyum. Tidak apa-apa marah karena dia pun merasa bersalah.
"Besok jangan lagi, kamu harus fokus, oke?" Saka mengusap noda di sudut bibir Puspa.
Puspa mengangguk dengan masih mengunyah lahap. Menatapnya saja bisa membuat Saka kenyang.
Saka menatap pipi yang terus bergerak dan kembung itu, sungguh menggemaskan. Selucu hamster.
"Om, apartemen om ga disewain?" matanya mengerjap dengan jemari kembali menjejalkan sisa martabak yang dia gigit.
Saka mengusap rambut Puspa sekilas. "Mau, biar kalau kita berantem ga ada acara kabur-kaburan," jawabnya.
Puspa melotot. "Amit-amit! Kenapa harus berantem!" beonya dengan mulut penuh.
Saka terkekeh. "Katanya marah tadi, berarti kita lagi berantem, Puspa!" gemasnya.