ayang, ini part tiga puluh delapan

25 1 0
                                    

38. Sad part

Hal yang paling susah manusia lakukan di dunia yaitu, sadar diri atas ke egoisannya sendiri.

•••

Kenapa semuanya berlangsung terjadi kayak gini Besttai? Kemarin-kemarin aku ketawa-ketiwi cari sensai happy. Kemarin-kemarin aku masih tersenyum lebar seolah-olah, masalah kayak gini nggak pernah datang tanpa memberi kabar. Kemarin-kemarin aku masih bisa bercanda ria, ngobrol ringan, bahkan saling adu gombal dengan Ayang. Tapi, dua hari kebelakangan ini? Bahkan Besttai, aku males untuk keluar pergi, apalagi bertemu Dimas nanti.

Setelah aku ngusir Dimas dari hadapanku kemarin, dia benar-benar nggak menampakan wujudnya ke hadapanku, seperti apa kataku. Tapi aku nggak menutup kemungkinan, kalo Dimas memperhatikanku dari kejauhan. Kemarin, Dimas kepergok nendang batu di depan jendela kamarku, aku kira kucing atau apalah, ternyata Dimas yang mengintip aktivitasku dari celah jendela kamar yang terbuka.

Kalo boleh curhat, aku kasihan sih lihat Dimas yang jadi serba salah akhir-akhir ini. Mau menemui aku, tapi aku-nya nggak mau. Makannya, dia ngintip-ngintip kosanku kek maling gitu.

Dan sekarang, kamu semua tau apa yang dia lakukan?

Sengaja aku kunci pintu kontrakanku. Simple sih sebenarnya, aku nggak mau ketemu dia dulu. Dasar Dimas-nya yang nekat atau bagaimana. Entah kursi plastik siapa yang dia ambil, tapi Besttai, Dimas menaiki kursi itu dan mengintip kegiatanku dari celas atas pintu. Kamu tau, ‘kan, celah terbuka atas pintu itu kek gimana? Bayangin sendiri.

Dan kenapa aku tahu kegiatannya kek maling begitu? Aku juga ikutan ngintip dari tirai jendela. Dikit banget aku buka tiranya, wajar Dimas nggak tau kalo kegiatanku sama kek dia. Saling mengintip.

Kaki Dimas sedikit berjinjit, dia menghela nafas pelan. Mungkin, karena nggak lihat aku keluar dari kamar. Karena ini sudah memasuki jam dua, yang mana bentar lagi aku ngantor Besttai. Aku tuh mau ketawa, tapi hatiku sedih juga lihatnya. Dimas ngeluarin ponsel dari saku celanaya, aku udah tau arah perbuatan dia itu kemana.

Dan benar saja ponselku bunyi. Damn!

“Bi?”

Aku menolak panggilan dari Dimas dan menutup tirai. Karena udah ketahuan ponselku bunyi dibalik jendela, Dimas mengetuk kacanya.

“Bukain dong Bi pintunya,” katanya. Aku memutar bola mata malas, “udah dong diem-diemannya. Gue bawa ayam mercon lhooo. Makan bareng yuk?”

Aku berdecak. Kesel nggak sih Besttai kamu sama aku? Jujur, aku nggak tega sebenarnya, tapi mau gimana lagi, hatiku masih memkirikan ucapan Ghea kemarin-kemarin. Ghea benar, Dimas terlalu baik kalo aku susahin teruuus.

“Bi? Kalo kayak gini terus, mau sampe kapan ha? Buka pintunya! Gue mau liat muka lo, pasti parah kalo nggak lo obatin. Gue bawa salep juga nih.”

Mau nangis aja aku tuh. Mau nggak mau aku membukakan pintu. Masa, menolak perjuangan Dimas yang mati-matian ngebujuk aku dengan membawakan makanan keseukaanku sekaligus obat untukku? Jatuhnya, kalo aku menolak secara terang-terangan, jahat amat dong aku kesannya?

Kalo mau bertindak mengakhiri semua ini, cara baik-baik, ‘kan bisa? Ngomongnya dari hati ke hati biar nggak terlalu sakit nantinya. Iyah? Namun... aku ikhlas nggak kalo... nyuruh Dimas menjauh lagi dari hadapanku? Selamanya?

FriendgameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang