ayang, ini par tiga puluh tujuh

16 1 0
                                    

37. Aku bingung

Kenapa yah ucapan manusia itu pedes? Dan kenapa, sepatah kata yang terucap dari mulutnya bisa-bisa berdampak sebegitu hebatnya? Aku nggak ngerti.

•••

Percayalah, aku nggak mau kondisiku kayak gini. Prihal ucapan Ghea, nggak perlu dimasukin hati Bi. Toh, bisa aja dia ingin mencairkan suasana setelah nggak bertemu begitu lamanya? Dan, wajar-wajar aja sih dia ngomong kel tadi, kan fakta. Jadi, sebenernya aku yang terlalu ribet mikirin prihal ucapan Ghea, atau... aku gabut kali yah? Ini bukan problem atau sejenisnya, ini hanyalah menyangkut obrolan biasa. Hayolah Bi, kenapa lo serisau ini sih?

“Na,” panggilku, “gue ke toilet yah? Bentar aja kok. Kebelet ini.” Jujur Besttai, aku hanya cari alasan doang untuk menenangkan pikiran yang, lagi kacau. Setelah berpamitan baik-baik dengan Ghea, dan bukan kebetulan lagi seharusnya dia mengurusi customers yang datang ke mari. Jadilah, aku dan Zelina melanjutkan cari-cari baju yang sempat tertunda tadi.

Zelina hanya menatapku tanpa respon Besttai. Kek... dia mengintimidasi.

Aku tersenyum. “Lo kek baru kenal gue aja deh Na. Gue nggak pa-pa kok. Lagian gue nggak bohong, ini kepepet banget karena pangilan alam. Lo lanjutin lagi yah pilih-pilihnya, nggak tahan gue, dah!” Aku beneran beranjak pergi.

“Bi! Tunggu dulu woi!” Aku tau, Zelina nggak mudah percaya terhadap tindakanku. Dia menyusulku, “gue temenin!”

“Ck!” mataku memutar malas, “gue mau pop, lama! Mending lo cari-cari dress lagi daripada nungguin gue Zelinaaa.”

“Yakin lo?”

Aku menghela nafas. Aku terharu sih sebenarnya, “Lo nanya kek gue seolah-olah tersakiti aja deh Na. Masalah mau ketoilet aja lo ribetin. Kenapa? Lo khawatir sama gue karena... ucapan Ghea tadi ha? Gue orangnya kebal, segitu doang nggak ngaruh! Ah lo!” Meringis aku dalam hati, ketika lihat Zelina susah berpikiran kek gini, “udah ah, lo sana gih. Dan, jangan nungguin gue, gue lama Na!”

“Ya udah deh. Gue tungguin lo sepuluh menit yah. Gue sekitar sini aja, cari aja nanti gue sekitar sini kalo lo udah beres buang tenaga... ”

Sebelum Zelina menuntaskan ucapannya, aku beranjak menghilang duluan dari hadapannya. Dan, sekarang aku butuh penenang pikiran. Kali ini, lo harus bisa ngontrol emosi Bi, jangan teriak-teriak nggak jelas di toilet, jangan mecahin kaca toilet, jangan gebukin westtafel toilet. Oke?

Ya! Aku senyum sebagai penguat diri Besttai. Kelakuan aku ini kek... alay yah? Cuma prihal ucapan Ghea doang, aku galaunya setengah matai.

Emangnya kenapa kalo aku udah di rusak sama Dirga Ramondra? Apa emang betul aku nggak bisa hidup bersama sama Dimas Margantara?

Aku menatap pantulan diriku dari cermin toilet. Besttai, aku nggak seburuk apa kata Ghea, ‘kan? “Hahaha, nggak ada manusia yang nggak buruk Bi. Kenapa ha? Gue emang udah rusak, tapi... salah kalo gue mau masa depan yang cerah. Kalo masa lalu gue menyakitkan, apa nggak seharusnya, gue berusaha mencari masa depan yang menyenagkan? Lo bodoh Bi kalo kepincut obrolan jelek tentang diri lo doang. Ayoklah, ini kehidupan, sepantasnya di dunia harus cari kebahagiaan. Emang kenapa kalo aku kaca yang rusak, mau dapet pantulan wujud manusia yang hampir sempurna. Salah? Enggak, ‘kan?

Bibirku mengalunkan tawa remeh. Gila, ucapan Ghea emang... “Hahaha, tentang fakta? Dimas udah tau semuanya, dan dia nerima gue apa adanya. Kenapa gue harus banget mundur ketika impian suami masa depan gue terlanjur jatuh hati dan terjebak sendiri sama perasaan yang gue dan dia buat ini. Lagian, masalah gue nggak lagi perawan, dia udah tau dan udah di bicarain baik-baik bukan?” Reflek, kepalaku menggeleng Besttai. Masalah nggak lagi perawan, udah dibicarain baik-baik bukan? Jawabannya, kenyataannya, belum. “Tenang, ntar gue bicarain baik-baik sama Dimas. Gue yakin, semuanya pasti akan baik-baik aja kok Bi.”

FriendgameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang