ayang, ini part lima

259 118 167
                                    

5. Aku kuat kok.

Depresi yang paling gila adalah berpura-pura. Mengenali diri sendiri saja kadang nggak bisa. Di tempat ke satu kadang cenderung hobi tertawa. Dan di tempat yang ke dua kadang cenderung merasa tersakiti tanpa senjata. Jadi, kepribadian yang mana yang asli dari diriku sebenarnya?

•••

Five day's later.

Besttai, aku kembali lagi nih! Dengan sosok Febi yang... um, yah begitulah. Terlalu sedih untuk diceritakan, terlalu senang untuk nggak mengenal keadaan. Pura-pura saja.

Aku harap kamu semua mengerti yah. Cukup dipendam aja kok, terus tarik nafas-buang nafas agar sesaknya mendingan. Gak pa-pa, it's ok, no problem. Biarpun baru pertama kali mengenali situasi, coba ajak berteman kondisi, lama-lama pasti terbiasa nanti. Kuncinya hanya ikhlas terhadap suasana apapun yang menimpa dan jalani saja.

Hari sebelumnya lumayan tertekan sih, catat lumayan yah, kalo hampir gila itu hanya diriku saja yang tahu. Nggak mungkin, ‘kan, kalo aku nunjukin sikap ‘yang paling tersakiti’ di depan orang? Yang ada malah dijadiin bahan becandaan. Katanya, sok yang jadi tersakiti, belum tau aja diluar sana ada orang yang lebih sakit dari dia. Gitu.

Ambil jangka panjang hal apa yang akan terjadi ke depan sebelum bertindak. Dan pikirkan matang-matang sebelum terjun ke jurang. Pikir, kalo aku ngelakuin ini bakalan baik nggak yah untuk masa depan?

Daripada aku jadi bahan ejekan orang jika menunjukan raut kesedihan yang aku rasakan sekarang nanti malah makan hati. Niatnya ingin mendapatkan simpati eh malah bikin emosi. Kan jancouk!

Dahlah, ngomongin etika masyarakat emang nggak ada habisnya. Skip aja, aku mau cerita.

Lima hari. Aku cari kerjaan buat kebutuhan hidup aku di sini. Tapi, nggak ada yang menyambut surat lamaranku dengan sesuai harapan. Yah, kalo dikatakan bisa juga, ditolak. Malu juga sih aku sebenarnya. Tapi, nggak apa! Aku nggak bakal menyerah.

Sumpah demi apa, aku emang tolol mencari keributan di Galery Fashion sampe di chat online sama si bos kalo aku bukan lagi bagian dari karyawan di sana. Miris, Besttai. Semangatin dong? Btw, mataharinya kek satu senti aja dari kepalaku. Bener-bener panas, pake banget.

Aku menghela nafas. “Hu! Ayok semangat! Gue yakin, kali ini diterima Bi! Lo tenang, tarik nafas... hu... buang perlahan... haaaa. Are u oke? Yah.” Bentuk penyemangat itu perlu Besttai. Jaga-jaga, kalo nggak diterima udah nyiapin mental sebelumnya.

Kaki aku tepat berada di depan sebuah Restaurant Ramen yang nggak terlalu mewah sih, tapi lumayan. Kata Ghea—temen aku saat di Galery Fasihionberi info, kalo disini tuh gajinya lumayan gede. Dan sedang butuh seorang... waiters? Aku harus percaya diri kalo aku bisa. Walaupun nggak punya pengalaman diposisi itu juga.

Sesi dag-dig-dug-kembang-tai-ayam-kuncup sudah dimulai. “Bismilah! Ayok Bi! Fighting!” ucapku yang menyemangati diri sendiri.

Aku masuk nih, kan. Terus bertanya pada salah satu pelayan di dalamnya. “Selamat siang, Mbak.” kataku ramah, Besttai. Nggak ada jiwa-jiwa sok-sokan tersakiti walaupun kenyataannya begitu.

“Siang Mbak. Ada yang mau dipesan?”

Aku menggeleng dengan senyum elegan. “Maaf Mbak, saya nggak pesan apa-apa, cuma mau nanya. Apa betul disini sedang mencari waiters yang sangat dibutuhkan tenaganya secepat juga?” keringatku jatuh dari pelipis. Harap-harap aku sesuai kriteria pelamar kerja.

FriendgameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang