🌻1

3.7K 371 855
                                    

Buku ini selesai kutulis rapih satu tahun yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Buku ini selesai kutulis rapih satu tahun yang lalu. Izinkan aku membagi duka dan lukaku. Temani aku, kembali membacanya dengan kopi pahit yang menenangkan.

• Halaman Terakhir Untuk Gara •

Setelah beberapa menit lalu bel pulang sekolah berbunyi. Seorang gadis manis dengan tinggi badan 150 cm tengah berdiri di sebuah halte, yang tidak terlalu jauh dari sekolahnya. Dengan rambut ikal panjang yang diikat rapih, ditemani tas berwarna baby yellow yang membuatnya semakin terlihat seperti anak kecil menggemaskan.

"Permisi, dengan Mbak Kania Roseline?" Seorang laki-laki bersama kuda besi kesayangannya baru saja datang. Motor jadul, paket lengkap dengan helm Bogo-nya.

"Benar."

"Ke jalan hati Gara nomor 1 ya, Mbak?"

"Yup, gak pake lama ya ... Mas Ojol kesayangan!" jawab Kania. Ekspresinya terlihat ceria dan bahagia. Sebuah ekspresi langganan, ekspresi yang tak pernah hilang ketika gadis itu dihadapkan dengan laki-laki bernama Gara Chandra. Pacarnya.

"Siap, kuy?"

Kania tersenyum lebar, lalu melangkah mendekati Gara dengan kaki pendeknya. Membiarkan lelaki itu memasangkan helm yang biasa dirinya pakai setiap menaiki motor ini.

"Langsung pulang, batagor dulu, bakso dulu, atau seblak dulu ... atau mau ke mana?" tanya Gara, setelah gadisnya duduk manis di belakang.

"Yang pasti Batagora dulu lah. Batagor Gara, yang paling enak se-Bandung raya ...." Mendengar jawaban Kania membuat Gara meringis tertawa. Gadis imut yang selama satu tahun menemaninya itu selalu berhasil membuatnya bahagia setiap detik.

"Siap Tuan Putri, peluk yang erat ya ... bisi ngajengkang."

"Ngajengkang apa?" Kania mengerutkan keningnya karena tidak mengerti arti dari kata tersebut.

Kania Roseline, siswi pindahan dari Bali, yang baru saja pindah satu tahun lalu ke Bandung. Mengenal sosok Gara yang murni asli Bandung, berbahasa Sunda lekat yang membuatnya sesekali tidak mengerti.

Tapi tenang saja, Gara orang yang asik, dia bisa menyesuaikan bahasanya dan membuat Kania nyaman. Terbukti selama satu tahun berpacaran, keduanya selalu adem ayem penuh dengan kebahagiaan.

"Artinya jatuh ke belakang, Kania." Gara kemudian melajukan motornya pelan.

"Enggak lah, aku kan mau peluk kamu erat! Sampe nempel banget, udah kayak magnet!"

"Sekalipun di depan papa?"

Hening. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan Gara membuat Kania terdiam. Hatinya sedikit sakit, mengingat bagaimana papanya yang tidak pernah menyukai Gara dan tidak merestui hubungan mereka.

"Iya dong!" jawab Kania. Gadis itu menciptakan senyum masam di wajahnya sendiri.

Beberapa menit di perjalanan, pertanyaan Gara tadi masih terus terngiang ditelinga Kania. Membuat keheningan menyelimuti keduanya, membiarkan hanya suara kendaraan dan hiruk pikuk jalanan kota Bandung menembus masuk ke dalam telinga masing-masing.

Halaman Terakhir Untuk Gara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang