🌻24

411 67 93
                                    

Kania melangkahkan kakinya tak tentu arah dan tujuan. Sudah beberapa menit gadis itu hendak mencari sahabatnya yang lebih dulu keluar dari kelas meninggalkannya.

Ke setiap sudut sekolah, ia menyapukan pandangannya. Sesekali bertanya pada siapapun yang Kania kenal, tapi tak berujung hasil.

Kini di belakang sekolah, percakapan dari suara yang tidak asing di telinganya tidak sengaja ia dengar. Kania lantas mencari tahu siapa sosok orang yang sedang beradu argumen itu dan memilih untuk diam-diam mendengarkan.

"Maksud Kak Rigel apa?"

"Kalo kamu suka sama saya, lakukan itu untuk saya. Bantu saya," ujar sang empunya. "Suruh Kania pergi dan jauhin Gara!"

Yaya menatap laki-laki yang sudah ia sukai selama lima tahun ini. "Soal perasaanku sama Kakak dan hubungan Kania sama Kak Gara … apa hubungannya, Kak?"

Kedua mata Kania berlinang, membendung cairan bening setelah mengerti akan apa yang tengah Yaya bicarakan bersama salah satu dari sahabatnya Gara. Ia juga berusaha menahan diri untuk tidak menangis siang itu.

"Aku emang suka sama Kakak. Tapi bukan berarti aku harus memaksakan untuk memiliki Kakak. Aku lebih baik mengubur perasaan ini daripada harus menyakiti sahabatku!"

"Tapi sahabat kamu tuh selalu sakitin sahabat saya! Begitupun sebaliknya, kan?"

"Enggak, Kak! Kania gak pernah ngerasa disakiti sama Kak Gara. Aku yakin!"

Rigel yang tidak terima akan respon dari gadis di depannya ini, kemudian melenggang pergi begitu saja, setelah sebelumnya melemparkan tatapan tajam penuh amarah pada Yaya. Entah laki-laki itu sudah tidak punya jawaban lagi, atau entah memang lelah akan perdebatan singkat ini.

Melihat pembelaan Yaya. Kania lagi-lagi gagal menahan air matanya. Mungkin karena cairan bening itu terlampau banyak sampai tak mampu lagi ia tampung. Berakhir Kania membiarkan semuanya tumpah setetes demi setetes.

Namun bersicepat gadis itu menghapusnya. Dia berlalu pergi kembali ke kelas. Di temani bayangan-bayangan apa yang Rigel katakan pada Yaya tadi. Kania berusaha untuk tidak memikirkannya, tapi kalimat-kalimat itu terus terngiang jelas dan sangat mengganggunya.

Sejak awal Rigel memang terlihat seperti tidak menyukai kehadirannya di hidup Gara. Bahkan Kania pun tahu kalau laki-laki itu tidak pernah mau mendukung hubungan Gara bersamanya.

Di tengah-tengah koridor, Kania yang tengah asik memikirkan soal tadi seketika ia buang kala baru saja melintasi tubuh Ikbal yang terduduk bersama beberapa temannya.

"Kak!" panggil Kania.

"Halo sayang."

Gadis itu tak menghiraukan jawaban Ikbal. "Kak Ikbal mau bantuin Kania, gak?"

"Bantu apa, sayang?"

Di antara ketiga teman Gara. Kania merasa kalau Ikbal adalah satu-satunya yang tidak terlalu menentang cinta keduanya. Kania pikir, setidaknya meski Novan atau Rigel tidak menyukainya. Dia masih memiliki Ikbal. Kania jua berharap Ikbal mau membantunya untuk mengembalikan ingatan Gara seperti dulu.

"Emmm gini, Kak---"

Grep!

"Sini Kania!"

"Apaan sih, Haris?!" Haris tiba-tiba datang lalu menariknya kasar. "Haris lepasin, gak!"

Laki-laki itu tidak mau mendengar Kania sama sekali. Semakin Kania meraung minta dilepaskan, semakin erat Haris mencengkeramnya. Semakin keras Kania berusaha melepaskan diri, semakin kasar pula Haris menariknya pergi.

Halaman Terakhir Untuk Gara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang