"Tak perlu seseorang yang sempurna. Cukup temukan orang yang selalu membuatmu bahagia dan membuatmu berarti lebih dari siapapun." --- Alm. Bj. Habibie
Selamat membacaa
Tepat satu Minggu Kania koma. Terbujur lemah tak berdaya, dibantu alat medis ia berperang dengan rasa sakitnya di dalam tubuh. Beruntung Tuhan Maha baik, masih mau memberinya kesempatan untuk kembali membuka mata.
Dan hari ini, gadis itu sudah dipindahkan ke kamar rawat inap VIP. Seorang paruh baya cantik berjubah putih yang biasa menanganinya mengatakan kalau kondisi Kania usai membaik.
Hanya ditemani Dina seorang diri, lantaran Mahesa harus pulang untuk mengemas beberapa barang dan bajunya ke dalam koper.
Seminggu yang lalu sang Kakak seharusnya kembali ke Kanada. Tapi karena ingin menunggu adiknya membuka mata, jadi terpaksa dia harus menunda keberangkatannya.
"Kak Mahesa udah kasih tau Gara, sebentar lagi Gara ke sini," kata Dina, selepas menelepon Mahesa untuk memberitahu Gara perihal Kania yang sudah bangun.
Sejak sadar pagi tadi, Kania hanya terdiam pasif. Seolah bisu, kala dilempari pertanyaan, ia hanya menggelengkan kepalanya pelan. Menyandarkan tubuhnya pada dinding bangsal. Tatapan matanya tampak sayu dan kosong. Terlihat jelas seperti sedang menyimpan kesedihan.
"Kamu kenapa, sayang?" Dina usap lembut surai panjang putrinya. Namun lagi-lagi hanya gelengan kepala yang paruh baya cantik itu dapatkan.
Kania rasanya ingin menangis, mengingat apa yang ia dengar saat itu dari mulut Papanya … benar-benar menyakitkan, sekaligus merasa bersalah pada laki-laki tercintanya.
Seandainya Gara tahu … mungkin bisa saja dia tidak akan memaafkan kelakuan Adip. Dan Kania takut kalau Gara sampai membencinya. Berakhir hubungan yang telah dibangun dengan penuh perjuangan ini harus putus dan hancur begitu saja. Kania tidak mau itu terjadi.
"Kania …." Seseorang memanggil namanya. Alunan nada lembutnya terdengar menusuk ke telinga. Dan tentu saja Kania tahu siapa pemilik suara khas tersebut.
Mahesa baru saja datang, kemudian muncul Gara di belakangnya, mengenakan setelan pakaian sederhana dan menggendong tas hitam di punggungnya.
Tak ayal, gadis itu melemparkan pandangan pada Gara dengan mata yang berkaca-kaca membendung cairan bening.
Gara memberi senyuman termanisnya, sambil berlalu menaruh tas hitam di atas sofa, tak jauh dari posisi bangsal Kania. Tak lupa, laki-laki itu menyempatkan diri mencium punggung tangan Dina. Setelahnya, ia mendekati sang gadis tersayang yang masih tercenung menatapnya.
"Halo sayang … gimana kondisi kamu sekarang?" tanya Gara, ia mengambil posisi duduk di kursi, di samping bangsal.
Tidak ada jawaban.
"Kania, kamu kenapa?"
Pernyataan singkat itu sukses membuat Kania meloloskan cairan bening yang sejak tadi tertahankan. "Gara …."
Mendengar suara parau, bersamaan keluarnya air mata Kania. Gara yakin betul kalau ada sesuatu yang sedang Kania rasakan. Lantas lelaki itu bersegera menarik gadisnya ke dalam dekapan.
"Shtt … kenapa kamu?" Gara mengelus lembut punggung Kania, sementara itu tangisan Kania malah kian membuncah di dalam pelukan Gara. Isakkan terpotong-potong yang terdengar semakin jelas bagai menjelaskan betapa sesaknya hati gadis itu.
Bagaimana tidak. Mendapatkan perlakuan lembut nan baik dari Gara membuat Kania semakin merasa bersalah.
Gara melepaskan pelukannya. Tangannya naik, berusaha menghapus air mata yang membasahi pipi gadis manisnya. "Hey, kok nangis sih … Kania mimpi buruk, iya? Coba cerita sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Halaman Terakhir Untuk Gara [END]
Fanfiction[Sebelum baca, wajib follow authornya‼️] Mari bergabung dengan luka dan rasakan duka dari dua sejoli yang memiliki kisah indah namun berakhir tragis. "Kalau senja punya matahari yang indah, malam punya bulan yang cantik. Ada satu hal yang mampu meng...