Karena part ini sambungan. Boleh di tengokin lagi ending part sebelumnya barangkali lupa🥰
***
"Gara," gumam Kania pelan, begitu mendapati Gara yang baru saja turun dari motornya tepat di depan Kania. "Kak, ada Gara. Kania matiin dulu gapapa, kan?"
"Oh, iya gak papa." Seusai mendapat jawaban, Kania lalu bergegas mengakhiri video call-nya. Tak lupa, ia juga menghapus jejak air mata di pipi, dan berusaha menormalkan ekspresi seolah dirinya baik-baik saja.
"Kania, kamu ngapain di sini?"
"Kamu ngapain ke sini?" Kania balik bertanya tanpa melirik Gara.
"Tadi aku ikutin Haris, aku yakin dia pasti turunin kamu lagi di tengah jalan. Ternyata bener, kan."
Kania masih tidak mau menghiraukan.
"Kamu tadi teleponan sama Kak Mahesa? Kenapa dimatiin?"
Kali ini Kania menoleh ke arah Gara yang masih berdiri menatapnya. Kedua netra nya terbelalak kaget kala mendengar penuturan Gara barusan. "Kok kamu tau?"
Gara tersenyum, sembari berlalu mengambil posisi duduk di samping Kania. "Kania, liat aku." Laki-laki itu menggenggam kedua tangan lembut milik gadisnya.
"Aku udah tau semuanya," ujar Gara.
"Tadi niatnya aku mau samperin kamu dari belakang, tapi aku gak sengaja denger apa yang kamu omongin sama Kak Mahes. Aku tau aku salah karena gak sopan tapi---"
"Maafin papa ku, Gara." Hanya itu yang bisa Kania loloskan dari bibirnya. Setelahnya ia kembali menangis.
"Kania, hey … jangan nangis." Gara masih tidak mengerti. Justru perlakuan baiknya lah yang membuat Kania terus menangis.
Kania selalu merasa bersalah atas perlakuan Papanya terhadap Gara. Tapi Gara bisa-bisanya masih bersikap baik kepadanya.
"Sini, sayang." Gara menarik tubuh gadisnya ke dalam dekapan. Membiarkan Kania khusus untuk kali ini meluapkan semua yang terasa di dalam rengkuhannya.
"Aku takut, Gara … aku gak ngomong dari awal karena aku takut kamu ninggalin aku. Aku takut kamu benci sama aku …."
"Papaku udah kelewat jahat banget sama kamu …."
"Aku malu karena kamu selalu bersikap baik kayak gini …."
Beberapa saat Gara membiarkannya meracau, dan tetap menangis. Sampai ketika isakkan tangis Kania perlahan mulai tak terdengar, Gara melepaskan pelukannya lalu menyodorkan air mineral yang sebelumnya sudah Gara bukakan tutup botolnya agar memudahkan gadis itu.
"Nih kamu minum dulu."
Kania menurut dan meminumnya.
"Udah agak tenang?"
Sang empunya mengangguk, dengan ekspresi yang masih terlihat sedih.
"Dengerin aku. Kamu suruh aku buat selalu jujur, dan terbuka tentang hal apapun. Tapi itu bukan cuma berlaku untuk aku aja, kan? Tapi untuk kamu juga, untuk kita."
Kania mengangguk lagi. Tatapan matanya masih tertuju pada Gara.
"Kaniaa … aku gak akan pernah salahin kamu atas apapun yang udah papa kamu lakukan. Karena itu bukan salah kamu, sayang. Gak ada sangkut pautnya sama kamu."
"Kalau seandainya kamu bilang dari awal, mungkin aku gak akan salah paham sama arti kekhawatiran kamu kayak tadi."
"Aku minta maaf untuk itu, ya. Maafin aku udah bikin kamu nangis. Maaf karena aku nyakitin kamu," lanjut Gara. Nada bicaranya terdengar sangat lembut dan halus.
Kania menggeleng. Bulir-bulir air matanya terus jatuh membasahi pipi. "Gara gak pernah nyakitin Kania."
Menyadari cairan bening lagi-lagi membasahi pipi gadisnya. Tangan lelaki itu lantas naik menghapus air mata Kania menggunakan ibu jarinya. Yang kemudian ia usap lembut pipi Kania semata-mata agar Kania merasa jauh lebih baik.
"Satu lagi, Kania … aku gak bakal salahin apa yang udah terjadi karena ulah papa mu. Ibuku pernah bilang kalau semua yang terjadi dalam hidup kita adalah atas kehendak-Nya."
"Sudah takdir, dan semua udah di atur. Kita cuma harus yakin, kalau semuanya bakal baik-baik aja. Entah itu mendung atau badai sekalipun, mereka gak akan bertahan selamanya. Akan ada hari cerah dan pelangi sebagai gantinya. Dan itu pasti," tutur Gara. "Tadi aku bilang kita harus apa?"
"Yakin …," jawab Kania parau.
Gara meringis tertawa. Tangannya kali ini mengusak puncak kepala Kania gemas lantaran gadis itu senantiasa mau menurutinya. "Anak pinter," katanya.
"Yakin dan percaya!"
"Pokoknya aku mau kamu sabar, tetap tenang buat lewatin masa ini. Jangan sampe kamu berpikiran hal buruk tentang Papa kamu! Gak boleh! Karena mau bagaimana pun orang tua, seburuk apapun, mereka tetap orang tua kita."
Gara melemparkan senyumannya. Menatap Kania yang juga menatapnya dengan sendu. "Kamu, kita, harus kuat!"
"Terus sama aku, ya? Kita harus sama-sama!"
Kania mengangguk, dan kembali memeluk Gara.
Ibarat ribuan halaman sebuah buku. Dan bagian ini hanyalah satu halaman dari jutaan kata di dalamnya. Kania pernah mengatakan perihal Gara yang sekala memberinya wejangan panjang tentang orang tua.
Sekarang gadis itu sudah berhasil menunjukkan secuilnya. Kania tidak pernah bosan. Justru dia akan mendengarnya dengan baik-baik. Hanya saja … Kania tidak habis pikir. Seperti apa Ibu Gara mendidik putranya sampai memiliki hati yang sedemikian mulianya.
Sayang, wanita berparas cantik yang nyalar Gara rindukan itu sudah tiada. Padahal Kania sangat ingin mengatakan terima kasih karena telah melahirkan Gara. "Tante Taniya pasti bangga banget sama kamu, Gara."
Gara meringis tertawa lagi. "Mau tau gak? Ibuku juga bangga karena aku berhasil membahagiakan kamu!"
"Kata siapa Kania bahagia sama kamu?"
"Jadi kamu gak bahagia?"
"Nggak!"
Gara melunturkan senyumnya begitu mendengar lontaran Kania yang lantang. "Gak bahagia. Tapi bahagia bangeeeeeeeeeet!!!!"
Bersambung…
.
Puzzle selanjutnya, kenapa Taniya ngadu ke Adip kalo dia hamil?
Berarti …
See u next chapter 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Halaman Terakhir Untuk Gara [END]
Fanfiction[Sebelum baca, wajib follow authornya‼️] Mari bergabung dengan luka dan rasakan duka dari dua sejoli yang memiliki kisah indah namun berakhir tragis. "Kalau senja punya matahari yang indah, malam punya bulan yang cantik. Ada satu hal yang mampu meng...