🌻30 SELESAI

1.3K 79 49
                                    

"Ku ucapkan terima kasih pada takdir yang telah mau mengembalikan semesta ku. Memberi kebahagiaan yang rasanya terlalu nyata sampai tak bisa ku duga. Namun sekarang aku sadar, rupanya kebahagiaan itu hanya sebuah kefanaan belaka."

- Kania Roseline -

.
.

Kedua kelopak netra yang semula mengatup. Siang ini dengan perlahan mulai terbuka. Manik mata coklat legam yang indah milik sang empunya di dalam sana bisa langsung menangkap jelas siapa sosok yang berdiri menatapnya sembari menggerakkan bibir seperti memanggil serta menyebutkan namanya. Meski masih samar-samar, namun Kania tahu siapa oknum tersebut.

"Kania … Kania bisa liat Mama?" Sekarang suara khas milik Dina terdengar.

"Sayang, ini Kakak." Kali ini suara lembut dari Mahesa yang masuk ke dalam telinganya.

Seperkian detik setelahnya, saat dirasa Kania sudah benar-benar sadar, gadis yang masih terbaring lemah di atas bangsal rumah sakit itu hanya menoleh ke sana kemari tanpa berniat menyahuti.

Muncul satu pertanyaan, ketika Kania melirik Dina, Mahesa, pun Adip yang terduduk di sofa sebelah ranjangnya. Bukan suatu hal yang besar atau asing lagi. Apa yang menjadi pertanyaan itu sudah pasti diketahui oleh banyak orang setiap kali ia baru saja membuka matanya. Gara?

Di mana, Gara? Di mana laki-laki yang begitu ia cintai?

Kania ingat betul, terakhir kali mereka bertemu … mereka saling merekatkan genggaman dan Gara memberikan senyum kepadanya.

"Gara ke mana?" Kania bersuara, pelan sekali dan nyaris tak terdengar. Membuat Mahesa sedikit mendekatkan diri dengan wajahnya. "Gara?" ulang Kania.

Mahesa tercenung, sama halnya seperti Adip yang masih terduduk di tempatnya. Namun tidak dengan Dina. Wanita paruh baya yang berdiri di belakang Mahesa terlihat mengusap sesuatu yang membasahi pipi. "Sayang, kamu mau minum, hm?" tanya Dina kemudian.

Kania memalingkan pandangan, sebab merasa Dina sedang mengalihkan pembicaraan. Ia lantas menoleh pada Mahesa lagi. "Kania tanya Gara. Gara ke mana, Kak?"

"Gara---"

"Mahesa!" Lagi-lagi Dina menyela, bermaksud menghentikan putra sulungnya itu agar tidak melanjutkan kalimatnya.

"Maa … Kania harus tau. Ini permintaan Gara," ujar Mahesa. "Kania, Gara---"

"Kania baru sadar! Jangan gila kamu!"

"Tapi Gara gak bisa dibiarin terlalu lama, Ma."

Beberapa saat hening, sementara Kania hanya menatap Mama dan Kakaknya ini terheran-heran. Kedua alisnya nyaris bertaut penuh tanya. Ada apa sebenarnya pada mereka?

Sampai akhirnya Mahesa kembali berujar dan memutuskan rantai pertanyaan di dalam kepalanya. "Kania … Kakak minta maaf sebelumnya. Karena Kakak gak bisa apa-apa atau cegah Gara buat lakuin ini. Tapi dia tetep maksa Kakak, dan … Gara donorin jantungnya buat kamu."

"…."

Yang semula menatap Mahesa, bergerak santai membuang wajahnya ke arah lain. Kania berusaha untuk tidak percaya pada apa yang baru saja Mahesa katakan. Tetapi air matanya malah dengan otomatis keluar seolah percaya.

"Dia masih nungguin kamu … Gara bilang sama Kakak kalau dia mau kamu ada di samping dia, bahkan Gara mau kamu anterin dia sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kamu siap ketemu Gara?"

Kania menarik napas panjang. Sejenak gadis itu memicingkan matanya. Baiklah jika memang ini benar … Kania harus melihatnya langsung, jika memang Gara masih menunggunya, Kania harus menemuinya. "Anterin Kania, Kak."

Halaman Terakhir Untuk Gara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang