🌻14

532 130 402
                                    

Sebelumnya terima kasih untuk yang gak pernah absen kasih vote. Sampe aku hapal siapa aja org nya. Makasih banyak² sudah berkenan mampir dan menghargai tulisan ku. Satu vote itu sangat berarti untuk aku yang masih amatiran ini.

Akhir bulan, mari kita rayakan dengan kegalauan.

Selamat membacaaa

Malam ini, selepas beradu debat dengan sang putri petang tadi. Adip mengurung diri di dalam ruangan kerjanya. Merutuki diri, sudah pasti. Menyesal, tidak pernah terlewatkan.

Namun ada yang berbeda kali ini. Bukan hanya dua hal itu saja yang Adip biarkan menemaninya. Tetapi juga sebuah rasa penasaran akan kabar dari Deano yang tak kunjung ia dapatkan.

Adip berjalan mondar-mandir melewati meja kerja perseginya. Bersama gawai pipih yang ia genggam di sebelah tangan kanan. Beberapa menit lalu pria itu telah mengirimkan pesan pada sang sekretarisnya.

Bagaimana? |

Tapi sudah lewat 30 menit, Deano tak kunjung memberi balasan.

Drttt drrrtt

Beruntung. Yang sedang dipikirkannya muncul. Bersicepat Adip menggeser icon di layar untuk menjawab, dan mengangkat teleponnya ke telinga.

Deano call

"Selam---"

"Cepat katakan!" sela Adip, memotong ucapan Deano yang belum rampung. Padahal pria di seberang sana berusaha untuk menyapanya terlebih dahulu.

Entahlah. Adip hanya tidak mau bertele-tele. Dia ingin segera mengusir rasa penasaran yang selama ini duduk manis di dalam ruang kepalanya.

"Saya sudah mendapatkan beberapa kabar tentang Nyonya Taniya, Tuan."

"Katakan semuanya."

"Nyonya Taniya, meninggal saat usianya 25 tahun. Tidak ada warga yang mengenalinya. Saya hanya mendapatkan informasi dari penjaga makam di tempat."

"Katanya, beliau berasal dari luar kota. Dan tanah makam ini ber-atas namakan Bapak Kurniawan atau biasa di kenal Pak Kyun. Yang sekarang tidak tahu di mana keberadaannya."

"Tapi biasanya ... setiap sebulan sekali putra beliau sering berkunjung ke makam. Namun belakangan ini sudah jarang terlihat lagi."

Sejenak Adip memicingkan matanya. Kelak ia kembali mulai bersuara. "Cari tahu siapa itu Kurniawan!" titahnya.

"Demi apapun, Dean. Saya ingin menemui putranya," lanjut Adip, nada bicaranya terdengar sedemikian berat. Seolah sedang menahan sesak di dalam dada.

"Baik, Tuan. Saya akan berusaha keras mencarinya. Dan segera memberi anda kabar lagi."

Adip memutuskan sambungan sepihak. Ia usap wajahnya yang tampak kusut dan frustasi. Padahal beberapa tahun silam, tepatnya saat Dina mengandung Kania. Sampai ketika Kania berusia 9 tahun. Dia berjanji dan meyakinkan sang Istri kalau tidak akan lagi berurusan dengan wanita yang bernama Taniya itu.

Satu nama yang nyalar membuat suasana di rumah kacau. Dan bahkan puncaknya keributan terjadi langsung di depan kedua putra-putri mereka. Setelah itu tidak lagi.

- 𝙷𝚃𝚄𝙶 -

"Kania," panggil Dina dari luar pintu kamarnya. "Kamu udah siap-siap sayang? Haris udah nunggu tuh di luar."

"Iya, Ma." Kania berlalu keluar tanpa ekspresi, dan berjalan lebih dulu meninggalkan Dina.

"Kania ... mulai hari ini kamu diantar jemput sama Haris. Papa tidak mau mendengar ada penolakan atau alasan apapun." Adip berujar tatkala Kania sampai di ruang tamu. Di sana pula terlihat ada Haris yang memang telah menunggunya. Kania tak menjawab, dia pergi keluar begitu saja tanpa berpamitan.

Halaman Terakhir Untuk Gara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang