🌻27

519 67 67
                                    

Selamat membacaa

Pagi ini di dalam rumah megah berwarna putih bersih yang menjulang tinggi bak istana kerajaan. Semua penghuninya tengah berkumpul di meja makan untuk sarapan sebelum memulai aktivitasnya masing-masing.

Sebelum menghadapi kejamnya dunia di luar sana. -Kania.

Sesekali bunyi ketukan sendok yang bersentuhan langsung dengan piring terdengar. Namun sedikitpun tidak ada yang berbicara, atau memulai pembicaraan. Terkesan canggung, tapi sebenarnya tidak. Mereka hanya tidak tahu harus membicarakan apa selain fokus pada makanannya. Sampai akhirnya satu detik kemudian …

"Mahesa … kamu keberatan kalau berhenti kuliah?" Pertanyaan Adip bukan hanya menarik perhatian sang empunya. Tapi juga Kania dan Dina yang ikut mendengarkan.

Kania tatap Mahesa yang berada di seberang mejanya, lalu diam-diam dua bola matanya bergerak melirik Adip.

"Pa, kalau Papa udah gak mampu biayain kuliah Mahesa … Mahesa bisa kuliah sambil kerja. Mahesa gak mau, Pa … Papa mempertahankan kekayaan ini tapi menggunakan cara yang salah. Apalagi menyeret Kania."

Mendengar penuturan Mahesa membuat kedua mata Kania berlinang terharu. Hatinya pun terasa sakit karena mengingat begitu banyak pengorbanan sang Kakak terhadap dirinya.

Mahesa sudah terlalu baik pada Kania. Sementara dirinya merasa belum bisa menjadi adik yang baik. Kania benar-benar banyak merepotkan.

"Papa lakukan ini untuk Kania. Untuk membiayai pengobatan Kania. Kita semua tau kalau pengobatan Kania itu tidak murah … Papa sekarang benar-benar sudah diambang kehancuran. Kita tidak akan berada di sini kalau tanpa bantuan Tian."

"Paa …." Kania ikut bersuara, setelah situasi sempat hening beberapa saat. "Kania mau, kok, tunangan sama Haris," lanjutnya membuat semua pasang mata yang tengah mengunyah makanannya terdiam.

Kania bahkan berujar tanpa menatap siapapun. Kedua netra nya tertuju ke bawah. Dengan kepala sedikit menunduk. 

"Kania, kamu---"

"Gara udah lupain Kania. Gara sama Kania udah … selesai," sembur gadis itu cepat, memotong ucapan Mahesa.

"Kania? Kamu serius?"

"Kania serius, Kak." Kali ini Kania menoleh pada Mahesa. "Kania gak suka Haris … mungkin karena Kania belum terlalu mengenalnya."

Dina yang berada di samping Kania hanya bisa diam menatapnya. Pula Adip, pria tua itu telah kehilangan kata-kata. Sementara Mahesa, menatap Kania curiga, tak mengerti, heran, dan terkejut. Tidak mungkin, kan? Kania kerasukan?

"Kania, kita berangkat sekarang!" Laki-laki itu berseru, kemudian beranjak pergi meninggalkan meja makan lebih dulu.

Kania yang mengerti maksud Mahesa memilih ikut menyusul setelah sebelumnya berpamitan kepada kedua orang tuanya. Perasaan takut tiba-tiba ia rasakan ketika hendak masuk ke dalam mobil, yang di dalamnya sudah ada Mahesa.

Entahlah. Kania pikir Kakaknya ini mungkin akan marah.

Meneguk salivanya susah payah, Kania lalu masuk ke dalam. Ia tak banyak bicara, namun Mahesa berujar dengan cepat. "Kakak gak yakin sama apa yang kamu omongin barusan … kamu sadar, Kania?!"

Kania menoleh, ekspresinya polos menatap Mahesa dengan mata yang sayu. "Kenapa harus gak yakin, Kak?"

"Semalem kamu tidur di pelukan Kakak. Terus kamu ngigau sebut nama Gara … kamu bilang gak mau lepasin Gara sampe kapanpun … kamu bilang bakal terus perjuangin Gara."

Kania menghela napasnya, seraya membuang muka. "Namanya juga ngigau. Pasti gak sadar, lah, Kak."

Kalau dipikir pakai logika, Kania akui dia memang sudah gila. Tapi meski begitu, untuk sekarang ini yang bermain tetaplah logikanya.

Halaman Terakhir Untuk Gara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang