🌻25

500 71 108
                                    

Jangan dipaksa bila semua tlah berbeda
Untuk apa pertahankan jika kita tak sejalan
- Ziva -

.
.

"Sayang, aku udah ngomong sama pihak sekolah. Kalo kamu boleh jadi bintang tamu buat event sekolah nanti." Jian tersenyum senang, menatap laki-laki di depannya yang juga ikut tersenyum setelah mendengar kabar ini.

"Serius?"

"Iya, nanti kamu nyanyi, ya?"

"Iya … yaudah kalo gitu sekarang kamu masuk."

"Kamu hati-hati pulangnya." Gara mengangguk. Sehabis mengantar pulang pacarnya, Jian … -mantan pacar seharusnya. Gara kemudian kembali pulang ke rumah.

Malam ini di jalanan kota Bandung. Bersama motor kesayangannya yang nyalar menemani.

"Garaaa jangan langsung pulang. Kita keliling dulu."

"Gara, jajan, yuk."

"Kania pacar saya! Mana mungkin dia deket-deket sama buaya gorong-gorong!"

Gara menghentikan motornya di pinggir jalan. Bayangan yang baru saja muncul di kepalanya membuat Gara kesakitan. Sakit di kepalanya kembali terasa, bahkan dia merasa mual karena mencium bau udara yang bercampur polusi.

Gara tidak mengerti apa maksud dari bayangan-bayangan yang terus muncul di kepalanya. Saking frustasi, Gara membuka helmnya, ia mengacak surai rambutnya kasar dan menyapukannya ke belakang.

Lalu Gara usap lelah wajahnya, lantas secara kebetulan pandangannya melihat sosok gadis yang terus saja muncul di dalam pikirannya. Gara bergegas menghampiri Kania yang berjalan sendirian mengenakan hoodie kuning berkarakter Minions.

"Kania, ya?" sapa Gara. Namun Kania hanya menatapnya datar tanpa ekspresi. "Ini udah malem, kamu ngapain di luar?"

Kania memalingkan wajahnya. Dia tidak mengerti kenapa Gara mengatakan itu. Laki-laki itu masih peduli? Perhatian? Untuk apa?

Yang ada di hatinya sekarang justru bukan lagi Kania. Bukan hanya itu, kejahatan Adip pun sebetulnya membuat Kania merasa siap untuk melepaskan Gara. Tiba-tiba. Perasaan itu Kania rasakan.

Tapi Kania juga berpikir kalau memang lebih baik seperti itu. Sudah sangat banyak luka yang Gara terima dan itu karena dirinya.

Lalu sekarang, luka yang jua baru ia rasakan entah siapa yang harus dia salahkan.

"Tunggu, Kania." Gara mencekal lengan Kania, dan menghentikannya yang hendak pergi. "Aku mau ngomong sama kamu."

Kania kembali menatap dua manik mata hitam legam milik Gara. Menatapnya dalam, seolah menyampaikan kata yang tak mampu lagi diutarakan.

"Kamu siapa sebenernya?"

"Terus … kalo aku kasih tau, kamu bakal percaya, Gara?" Kania menjawab dengan bibir bergetar. Entah kenapa dia malah jadi ingin menangis.

"Kalo aku kasih tau, terus kamu bakal kembali?"

"Jujur keadaan ini buat aku sakit, dan tersiksa banget … tapi aku juga gak bisa menjadikan kamu alasan atas luka ini." Kania membendung air matanya. Tapi kali ini ia berhasil menahannya agar tidak jatuh.

"Aku cuma mau kasih tau kamu satu hal ini … kalo kita, adalah dua insan yang pernah merasa paling bahagia."

"Aku permisi …," pungkas Kania.

Gara kali ini tidak menahannya. Dia hanya diam menatap punggung gadis mungil yang perlahan menghilang dan hanya meninggalkan jejak dari pijakan kakinya. Serta tatapan sedih Kania. Itu begitu tergambar jelas di kepalanya.

Halaman Terakhir Untuk Gara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang