03. "Bayi Siapa?"

5.9K 408 132
                                    

Bia menggeliat dan samar-samar matanya terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bia menggeliat dan samar-samar matanya terbuka. Masih mengumpulkan setengah nyawa, ia bersiap untuk bangkit. Sayang sekali, Rafli memonopoli tubuhnya. Bia menghela napas, Rafli masih mendengkur halus sambil melingkarkan lengan di perut sang istri.

Kepala Rafli tenggelam dalam-dalam di bawah dagu Bia. Gerak Bia menjadi susah. Sehingga hanya bisa melihat jarum jam di atas nakas. Pukul setengah tiga pagi. Bia menguap lagi, pertanda bahwa siap untuk melanjutkan tidur. Mau bangun juga percuma, Rafli lengket kayak anak kecil yang tidak mau jauh dari ibunya.

Sebelum kembali tertidur, gadis itu melirik pigura di samping jam beker. Pigura berukuran sedang yang memperlihatkan foto pernikahannya dengan Rafli. Senyum tipis terukir di birai gadis itu.

Bia seraya menyentuh rambut Rafli yang masih tertidur pulas, mempermainkan rambut hitam itu.

“Bibi ....”

Mata Bia terbuka kembali, memperhatikan Rafli yang masih setia bersembunyi di ceruk lehernya. Embusan napas Rafli membuat Bia sedikit geli dan menjauhkan kepala, tetapi sang suami tidak bergerak sama sekali.

“Maaf.”

Entah Rafli sadar atau tidak. Bia menoel pundak lengan Rafli berkali-kali hanya untuk memastikan. Ternyata tidak, Rafli memang hanya menggumam dalam tidurnya.

Sejujurnya, dia masih jengkel pada sikap Rafli siang tadi, tetapi Bia tidak mau menanggapinya dengan ledakan emosi. Besok dia harus mengajak Rafli berbicara bersama dengan kepala dingin. Biar bagaimana pun, Bia masih berstatus seorang istri dan Rafli adalah orang yang harus ia perlakukan dengan penuh kelembutan. Setidaknya, itu yang ia dengar dari mamanya dan Mbak Indah.

“Aku maafin,” bisik Bia sambil membelai lembut rambut suaminya, merasakan lengan kekar Rafli kembali merengkuh pinggangnya dengan erat. “Kamu nggak bener-bener tidur, ya?” Rasa kantuk kembali menyerang Bia. Setelah menguap kecil dan mengerjap, ia mengecup singkat kening Rafli.

-oOo-

Dalam mimpinya, Bia melihat seorang bayi kecil tengah digendong oleh Rafli. Wajah Bayi itu masih memerah, matanya tidak terbuka, tetapi tangis terus terlontar dari bibir kecil dan kemerahan itu. Ekspresi Rafli tidak bahagia membuat Bia bertanya-tanya, bukankah Rafli sangat ingin memiliki bayi? Bia mendekat perlahan-lahan. Suara tangis bayi itu makin keras.

“Bibi bangun!” Kini suara Rafli terdengar makin jelas, tetapi suara bayi itu masih mendominasi. Bia merasakan tubuhnya diguncang kasar. “Bia!”

“Bayi? Mana bayinya?” Bia tersentak dan bergumam acak.

Matanya mengerjap-ngerjap, peluh membanjiri muka dan yang pertama kali menyapa netra adalah wajah tampan Rafli yang sudah dibasuh air.

“Iya, bener!”

“Aku mimpi tadi, ada bayi ....”

Kalimat Bia tertahan. Telinganya masih berfungsi dengan jelas ketika suara tangis seorang bayi menusuk gendang telinga. Bia mengedarkan pandang, tentu tidak ada bayi di kamar mereka. Rafli menatap lekat ketika kedua netra Bia tampak bertanya-tanya. Kontan saja Bia menyingkap selimut dan berlari ke sana-kemari untuk mencari asal-usul suara itu. Bia yakin itu bukan mimpi sebab tangis tersebut terlalu jelas. Rafli mengekor, membuntuti langkah sang istri ke mana pun kakinya menjejak.

Kami Pasutri√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang