“Kamu bisa fokus kerja? Urusan pribadi jangan bawa ke tempat kerja. Itu bakal bikin fokusmu ke mana-mana.” Pak Diki menghisap sisa rokok sebelum benar-benar membuangnya ke tempat sampah terdekat. Kedua sorot mata tajamnya kembali mengarah pada sang lawan bicara. “Beberapa hari lalu kamu hampir memecahkan piring. Tadi lima piring pecah dan kemarin katanya ada barang yang hilang. Kamu ngerti apa yang harus kamu lakukan?”
Sejak tiga menit lalu, Rafli digiring ke halaman belakang kafe. Dalam benaknya, sudah tergambar bahwa akan ditatar habis-habisan oleh Pak Diki selaku kepala divisinya. Pun benar, dari awal memang tidak ada yang menaruh simpati padanya, kecuali Pak Ketut dan Barga.
Bahkan beberapa pramusaji saja ikut-ikutan bersikap tidak ramah. Entah. Rafli tidak tahu mengapa mereka bersikap demikian. Kata-kata Bia selalu terngiang dalam benaknya, bahwa apa pun itu ia tidak boleh langsung emosi.
“Saya tahu kamu belum pernah bekerja sebelumnya. Tapi, banyak anggota baru yang cepat dalam belajar. Sekali tunjuk langsung mengerti. Bahkan sebelumnya tidak ada barang yang kurang.”
“Bapak tahu saya tidak bertugas mengecek alat dan bahan hari ini? Ini harusnya jadi tugas ....”
“Ehm, maaf Pak Diki, Rafli.” Seorang lelaki berambut pendek klimis muncul dari balik pintu. “Saya potong sebentar karena Pak Ketut mau ketemu Pak Diki.”
Pak Diki mengembuskan napas kasar. Wajahnya jelas-jelas menahan kesal dan mungkin ada ribuan kalimat yang ingin disampaikan kepada Rafli. Kalimat yang bagi Rafli adalah serangkaian ceramah. Lantas Rafli ditinggal bersama lelaki klimis tadi. Dari tempatnya berpijak, ia masih mengamati punggung lebar Pak Diki yang berlalu, sampai menghilang di balik ruangan Pak Ketut.“Raf, lo ngadu ke Pak Diki, ya?”
Baru satu masalah hilang, sekarang sudah datang yang lain. Si lawan bicara mendekat, menatap Rafli penuh selidik. “Ngadu gimana, Mas? Saya lagi ditegur tadi.”
“Pak Diki marah ke gue sama yang lain sebelum ini. Kemarin gue kan minta tolong sekali sama lo buat ngecek kelengkapan alat-bahan. Lo ngeceknya nggak bener, ya?” Lagi, ia dituding.
Untung saja Rafli berusaha memupuk kesabarannya. Meski demikian helaan napas lelah sempat mengudara tatkala menatap Gibran, rekan kerjanya. “Harusnya gue yang tanya Mas. Lo sebelumnya udah ngitungin, ‘kan? Cuma karena ada yang nggak lengkap, lo jadi ngoper ....”
“Lo nuduh gue?” Intonasi Gibran yang meninggi membuat Rafli terkesiap. “Kalau gue udah cek duluan, gue nggak bakal minta tolong ke lo, Raf.”
“Terus kenapa bisa nggak lengkap? Gue udah bener ngeceknya.”
“Wah, parah lo. Mentang-mentang udah kerasan di sini, malah seenaknya nuduh yang udah lama kerja. Lo meragukan perhitungan gue?” Gibran malah menantang.
“Bukan masalah menantang ....”
"Rafli?"
Keduanya menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bercelemek datang menyudahi pembicaraan mereka. Tampangnya tidak kalah ketus dari Gibran. Wanita janda yang mengurus satu anak itu lantas mendekat dan menyerahkan beberapa lembar uang ke hadapan Rafli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomanceMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...