“Kapan sidang?”
“Dua hari lagi.”
Amar meniup-niup asap rokok yang lantas membubung tinggi dibawa angin. Sementara Rafli hanya memainkan putung kretek di tangannya. Kedua netra gelap itu senantiasa menatap gerombolan mahasiswa yang berlalu lalang melewati lapangan basket. Terik.
Sekelompok mahasiswa tampak duduk di bawah pohon rindang. Cuma untuk mencari angin segar setelah berlama-lama di kelas. Juga beberapa di antara mereka yang duduk melingkar, memainkan senar gitar, melantunkan lirik-lirik berbahasa Inggris.
“Fokus dan sukses buat sidang lo.”
“Thanks, lo udah banyak bantuin gue.”
Amar tersenyum kecil sambil mematikan sisa rokok. “Muka lo sampai segalau ini, tapi gue maklum, sih.”
Ada keterkejutan dari Amar ketika melihat Rafli beranjak dari tempat duduk. Bahkan sampai mendongak keheranan. “Gue pergi dulu.”
“Oke, lah. Udah sore juga.”
Rafli enggan menceritakan kemelut rumah tangganya lagi. Lebih baik memang ia simpan dan selesaikan bersama Bia. Tanpa ada yang ikut campur. Sejak tadi, Rafli mungkin duduk di samping Amar. Membiarkan raganya menemani sang senior. Akan tetapi, hati dan pikiran Rafli tidak di sana. Jauh. Hanya ada Bia di sana.
Tanpa mau berbasa-basi lagi, Rafli meninggalkan Amar. Melaju dengan Honda Jazz-nya menuju rumah Elisa. Langkah kaki lelaki itu sudah mantap. Tentu setelah berhari-hari memikirkannya. Beberapa waktu lalu ia berhasil menyelamatkan pekerjaan.
Syukurlah Pak Ketut hanya menegur, tidak sampai memecat. Rafli diberikan kesempatan untuk bekerja lagi. Mengenai barang yang hilang—meski bukan ulahnya—ia akan mencicil ganti rugi.
Pak Ketut sepakat dan tetap meminta maaf karena Rafli harus menanggungnya. Bahkan pria itu tahu kalau hal tersebut salah Gibran. Ketika mereka mencoba menghubungi, nomor Gibran malah sudah tidak aktif. Sejak dipecat ia jarang kelihatan.
“Tunggu aku, Bi. Aku akan memperbaiki semuanya,” Rafli menggumam tatkala lampu merah menahannya di tengah barisan kendaraan lain.
Secepat mungkin ia melaju manakala lampu hijau menyala. Dirinya sudah tidak tahan lagi harus berjauh-jauhan dengan sang istri. Benar. Rafli tidak bisa terus egois dan tidak mau mengalah. Terlalu takut terjadi hal buruk antara dirinya dan Bia. Mobil Rafli berhenti di halaman depan rumah Elisa. Sepi. Ia sampai di sana sekitar pukul enam petang. Lalu, yang menyambutnya adalah tatapan Elisa—tidak bersahabat.
“Assalamulaikum, Ma.” Meski tampang Elisa kecut begitu, Rafli masih sopan meraih tangan sang mertua.
“Waalaikumsalam. Inget juga alamat Mama, ya? Mama kira kamu udah lupa, siapa tahu mau di shareloc."
Nah! Rafli mendadak kikuk sekaligus malu. Merasa tidak enak, juga seperti suami bodoh nan pengecut. Terlebih ekspresi Elisa tampak menahan marah yang siap runtuh hanya dalam sekali usik—jika ada salah-salah kata dalam pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomanceMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...