Rafli mengendap-endap saat memutuskan kembali ke rumah. Bahkan sebisa mungkin agar sol sepatunya tidak menimbulkan suara berdecit ketika memijak di lantai. Detak jarum jam menyambut Rafli, seirama dengan degup jantung yang memburu. Cahaya temaram lampu dapur menyorot sehingga Rafli bisa melihat jelas jarum jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
Obrolan Elisa dan Bia membuat Rafli berpikir keras, merenung, dan merasa bersalah.
“Bi, aku pulang.” Kontan kedua netra sayu tersebut menangkap tubuh Bia yang terbaring berselimut. Ada rasa kesal karena tidak sempat melihat ponsel yang otomatis membuat dirinya tidak menerima panggilan Bia. “Aku nggak ngelunjak, kok, Bi.” Rafli memutuskan duduk menjuntaikan kaki di samping Bia. Ada Noah yang terlelap di samping sang istri.
Rafli memasok udara banyak-banyak sampai dadanya sedikit sakit, membiarkan sesuatu di balik batok kepala mulai memantulkan perkataan Elisa tadi. Rafli mengacak-acak rambut. Haruskah mengikuti saran Bia? Bekerja? Namun, Rafli masih merasa belum waktunya, apalagi sebentar lagi akan mengurus skripsi. Rafli kembali memandang Bia dan Noah bergantian.
“Bi, maafin aku.”
Rafli tidak tahu untuk apa permintaan maaf tersebut. Untuk ajakan menikah muda? Membuat Bia merasakan susahnya menempuh pendidikan setelah berstatus istri? Untuk kabar bangkrutnya Brama yang otomatis membuat Rafli tidak ada ‘penghasilan’ lagi atau untuk sikapnya yang terlampau santai dan mungkin bagi Bia sangat kekanak-kanakan? Perasaannya berkecamuk. Ada kemarahan sekaligus rasa bersalah yang menumpuk dalam dadanya ketika mengingat kalimat Elisa.
Rafli saat itu ingin sekali merengkuh Bia. Merasakan hangat pelukan dan mencium aroma lembut istrinya. Rafli memutuskan beranjak dari kasur, berjalan gontai ke arah sofa dekat pintu. Pikiran yang berisik tentang tugas kuliah serta kemelut keuangan rumah tangganya lantas saling berbenturan tegur dengan kalimat-kalimat Elisa di dalam tempurung kepala.
Tubuh jangkung Rafli terhempas ke sofa. Lampu kamar bersinar temaram. Serupa sinar semangat Rafli yang sekarang tak berpendar terang. Ia memijat-mijat kepala sambil memejam. Mencari jalan keluar, membuat keputusan, dan memikirkan banyak hal yang ujung-ujungnya bikin kepala berdenyut.
-oOo-
Sinar mentari menyorot wajah kantuk Rafli. Ia enggan menyibak selimut, tetapi suara ribut di lantai bawah menjadi alasannya terbangun. Rafli membuka mata, lengkung elips terbentuk memperlihatkan plafon putih kamar. Ia meraba ke samping kiri, ada meja, lalu ponselnya. Tidak ada Bia atau Noah.
“Rafli.” Suara milik Bia. Suara yang kadang-kadang kalau sudah mengomel agak membuat Rafli jengkel. “Mandi dan turun ke bawah! Mama mau bicara.”
Ketika Bia masih betah memandanginya, Rafli melengos. Dengan sisa tenaga, Rafli bangkit berjalan melewati Bia. Istrinya malah mengekor.
“Kamu dari mana semalam? Pulangnya jam berapa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomanceMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...