"Selamat, Bi. Akhirnya kamu bisa daftar sidang. Bentar lagi kita keluar dari sini." Ersa mengembuskan napas setelah memasok oksigen sebanyak yang ia bisa.
Halaman depan Fakultas Ekonomi tampak lebih lengang di sore hari. Tepat di seberang, gedung rektorat berdiri megah memperlihatkan beberapa mahasiswa yang duduk santai, berbincang, atau sibuk memangku laptop. Dua perempuan yang duduk di bangku semen depan fakultas hanya membiarkan indra penglihatan mereka mengamati aktivitas di seberang sana.
Bia baru saja kelar mengurus pendaftaran sidang. Ia sempat bertemu Pak Danang di depan ruang prodi. Dosen pembimbing yang acap kali membuat jengkel itu tampak senang karena Bia akhirnya sudah mencapai tahap tersebut.
"Semoga bisa wisuda bareng, Sa."
"Bisa!" Ersa menandaskan air mineral yang sejak tadi berada di genggaman. Tangan kirinya yang bebas pun ikut mengepal di udara. "Pasti temenku bisa. Banyak yang dukung dan doain kamu, Bi."
"Selama masih ada keluarga, Rafli, dan kamu kayaknya aku ngerasa bisa melewati semuanya."
"Nggak ada yang bener-bener sulit, Bi. Asal kita punya kemauan kuat buat menyelesaikannya."
Bia setuju dengan kalimat Ersa dan menambahkan, "Buktinya selama ini tugas yang kita anggap sulit pun akhirnya jadi juga."
"Pokoknya, Bi, kalau nanti sidangmu kelar kita harus cari waktu kosong, ya?"
"Aku bisa ngomong ke Rafli kalau memang ada yang penting banget."
Perempuan berkulit kuning langsat dengan bulu mata lentik dan potongan rambut mencapai pundak itu kontan tertawa singkat. "Bukan. Aku mau traktir kamu bakso urat. Sekalian mau ngasih tahu sesuatu."
"Kasih tau aku sekarang, please. Kamu tahu aku kepo banget kalau kamu udah ngomong begini."
"Nanti aja, deh. Takut ganggu pikiranmu."
"Kalau ada apa-apa bilang ke aku, Sa. Aku pasti dengar dan bantuin kamu."
Sebelum Ersa menjawab, sosok lain terlihat mendekat dengan langkah tergesa. Bia melihat ke arah kedua netra sipit Ersa dan pandangan itu menuntunnya untuk menangkap presensi tubuh tinggi atletis yang kini berjalan mendekat.
Senyum Bia merekah begitu lelaki beriris gelap, senada dengan kaus hitamnya, tampak memerkan senyum. Rafli tidak lupa menyapa Ersa dengan ramah. Peluh jatuh berderai di dahi dan pelipisnya yang bebas dari anak rambut. Bau keringat bercampur dengan sisa aroma parfum yang tertinggal. Dari penampilannya sudah dipastikan bahwa Rafli langsung datang setelah bermain futsal.
"Ayo, balik! Bentar lagi aku kerja."
Bia beranjak seraya merogoh sesuatu dari tas ransel. Segepok tisu yang langsung digunakan untuk menyeka keringat Rafli yang bercucuran. "Makanya kubilang bawa handuk kecil kalau mau main."
"Kan nggak sempet, Sayang. Aku dateng aja udah pada mulai."
"Minimal beli tisu, lah."
Ersa yang masih memandang mereka langsung berdiri sambil menggeleng. "Udah, ah. Aku mau balik juga. Capek aku lihat kalian kayak pemeran drakor romance. Aku balik, Bi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomantikMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...