Pagi itu agak mendung, tetapi tidak menyurutkan semangat Bia untuk segera bertemu pembimbingnya. Meski nanti sang pembimbing memang agak menyebalkan. Mengapa Bia berkata demikia? Sebab, pembimbingnya adalah orang yang pelupa. Bayangkan saja setiap konsultasi, Bia selalu disuruh merevisi ini-itu, besoknya setelah direvisi, si dospem—dosen pembimbing—malah menyuruh lagi seperti sedia kala.
Kedua langkah kaki Bia terhenti begitu melihat sosok yang sekarang berjalan tergesa. Begitu melihat Bia dan Ersa, sosok itu tersenyum lebar dengan ramah. Ersa yang masih di sana, pun tampak terheran-heran karena reaksi Bia ketika melihat Amar datang. Persis seekor predator yang siap menerkam mangsa dan menelannya bulat-bulat.
“Pagi, Bia, Ersa.” sapa Amar ketika Bia baru saja melangkah memasuki gedung prodi.
“Pagi, Kak. Mbak Rena enggak ikut?”
Amar hanya menggeleng dan mereka bertiga berjalan beriringan menuju lantai empat, di mana jurusan mereka ada di sana. “Bi, Rafli mana?”
“Enggak tahu.”
Pagi itu Bia masih sedikit jengkel dengan perdebatan beberapa jam lalu di rumahnya, walaupun merasa bersalah jugaterhadap Rafli. Jangan lupakan sosok yang sekarang berjalan di sampingnya. Sosok yang diyakini adalah dalang di balik keinginan Rafli untuk melanggar janji mereka. Perjanjian yang dibuat ketika keduanya sepakat untuk saling mengikat dalam ikatan pernikahan. Keinginan yang awalnya diragukan oleh orang tua mereka, tetapi berkat keteguhan hati dan keyakinan keduanya membujuk orang tua masing-masing, jadi izin pun dikantongi.
“Kamu lagi berantem sama dia?” Amar kembali bersuara.
“Aku enggak habis pikir sama Rafli, Kak. Kapan dia bisa mikir dewasa? Sekarang aku paham kalau usia seseorang enggak menentukan kedewasaan."
“Rafli kenapa?”
“Pengin punya bayi. Padahal udah janji mau ditunda dulu sampai lulus.”
Sialnya, Bia malah mendapati tawa renyah Amar. Lelaki yang kata Rafli sebentar lagi akan menjadi seorang ayah. Rena, istri Amar sudah lebih dahulu menyelesaikan S1-nya karena Amar memang lebih betah di kampus dan mengulur waktu untuk lulus.
“Kak Amar puas ngeracunin dia biar pengin punya bayi?”
Tawa Amar sedikit reda. Mereka bertiga melangkah memasuki lift menuju lantai empat. “Suamimu ngomong begitu?”
“Enggak juga, tapi dia nyebut-nyebut namamu tadi. Satu-satunya teman dia yang udah nikah, ya Kak Amar."
“Enggak seratus persen, sih. Aku cuma bilang kalau bentar lagi aku jadi ayah, gitu aja.”
“Masa cuma gitu sampai pagi-pagi buta Rafli udah ngajak ribut? Riweh banget minta bayi, dipikir bikin anak semudah kita naik-turun lift?"
Kalimat Bia malah membuat tawa Amar makin keras. Bahkan setelah keluar melangkah dari lift tawa lelaki itu masih saja membahana dan menghadirkan kernyit heran dari beberapa mahasiswa yang melintas. Sedangkan Ersa yang masih lajang hanya bisa ikutan tertawa saat Bia mendengus jengkel, menyimak ketika keduanya menceriakan kehidupan rumah tangga masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomanceMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...