05. "Pikir aja sendiri."

4.7K 348 109
                                    

“Ini Mbak Andar, dia bakal tinggal di rumah buat ngurus Noah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ini Mbak Andar, dia bakal tinggal di rumah buat ngurus Noah.”

Wanita itu tadinya menyambut Bia dengan senyum sumringah, tetapi ketika melihat Bia meraih bayi di gendongan Andar, mamanya mengernyit heran.

Kini mereka tengah duduk di ruang tengah rumah peninggalan almarhum Oma Santi. Rumah itu hanya ditinggali Elisa—mama Bia—dan Aryo—papanya yang sekarang jarang pulang karena bekerja di salah satu perusahaan manufaktur di Jakarta, tetapi ditugaskan untuk bekerja pada cabang di luar daerah. Itulah mengapa rumah sering sepi. Mbak Indah jarang berkunjung kalau tidak ada acara keluarga.

“Bi, coba jelaskan pelan-pelan ke Mama,” kata Elisa sambil meraih segelas teh hangat.

“Mbak Andar, bisa bawa Noah dulu?”

Dengan patuh wanita itu meraih Noah dari pangkuan Bia dan membawanya ke teras depan. Bersamaan dengan menghilangnya punggung Mbak Andar dari balik daun pintu, Bia melirik mamanya yang masih terheran-heran.

“Aku juga nggak tahu ini situasi macam apa, Ma. Tapi pagi itu aku sama Rafli juga kaget saat lihat Noah udah ada di teras rumah. Noah anaknya Mbak Inggit ....”

“Jadi, maksudmu Inggit menitip anaknya ke kalian?” Pertanyaan tersebut dibalas anggukan oleh Bia. Mamanya mengipas wajah, lantas meletakkan gelas teh. “Inggit nggak tahu apa kalau kalian juga sibuk kuliah? Lagi pula, kamu sama Rafli belum siap untuk mengurus bayi.”

“Aku tahu. Rafli bahkan menyarakan untuk menyarahkan Noah ke Mama Rani dan Papa Brama. Kami udah ke sana, tapi Mama tahu sendiri bagaimana keadaan Papa Brama, ‘kan? Papa Brama sempat dirawat di rumah sakit karena Fani ...."

“Terserah, Bi.” Elisa menatap tajam putri sulungnya tersebut. Tampak raut penuh ketidaksetujuan. “Itu cucu mereka, anak dari putrinya, bukan kamu sama Rafli yang harus mengurus Noah.”

“Aku nggak tega sama mereka, Ma. Anak-anak Mas Andra ada di sana dan Mama tahu sendiri mereka lagi aktif-aktifnya, aku takut menambah beban Mama Rani dan Papa Brama.”

Penjelasan Bia hanya dibalas sapuan angin menjelang siang. Membuat jendela di sisi mereka sesekali berderak, menerbangkan gorden biru pekat yang terpasang rapi di sana. Bia tahu keputusannya tidak akan langsung dimaklumi atau disetujui oleh mamanya sendiri, tetapi sudah kepalang kejadian, tidak mungkin datang lagi ke rumah orang tua Rafli untuk menyerahkan Noah.

Hening memerangkap mereka sejenak. Sekian detik Bia memikirkan bagaimana cara agar Elisa bisa luluh dan mau memahami maksudnya. Bia menggeser tubuh, meraih tangan sang mama.

“Mama tenang aja, ya. Lagi pula ada Mbak Andar, pagi sampai sore aku bisa mengurus tugas akhirku. Malamnya ada Rafli yang bantuin,” papar Bia berusaha mendapat pengertian dari mamanya. Meski dalam hati dia tidak yakin Rafli akan mau disuruh ini dan itu.

“Justru itu, Bi. Kamu sama Rafli itu sama-sama sibuk. Nanti skripsi kalian malah molor karena mengurus bayi.” Nada bicara Elisa sedikit mengeras. Kilat tidak terima dengan keputusan Bia, kini tampak kentara dari wajah dan tatapan matanya. “Kamu ingat nggak tujuanmu? Lulus, Bi. Setelah itu, terserah, mau punya anak berapa pun, Mama nggak masalah.”

Kami Pasutri√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang