07. "Ngurus rumah itu tugas istri."

3.8K 280 82
                                    

Bia masih memikirkan kalimat Rafli

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bia masih memikirkan kalimat Rafli. Menyerahkan Noah? Sepertinya memang itu ide yang paling bagus. Kini Bia merutuki kebodohannya sendiri. Sok kuat di tengah kondisi yang rasanya bikin sekarat.

“Hei! Bengong aja.” Ersa muncul dari belakang, mengagetkan sang sahabat. Begitu menyadari raut wajah Bia yang tampak sekusut tumpukan benang, Ersa mengernyit. “Pak Danang lagi?”

“Iya, minta ganti instrumen. Hari ini harus ngasih yang mentah. Gila aja bisa jadi dalam dua hari, makanya semalam aku langsung konsul lewat chat, beliau bilang bawa aja dulu setengah atau mentahannya, mau diperiksa dulu.”

Sejujurnya, tidak enak berbohong pada Ersa atas pikirannya yang kalut bukan hanya masalah bimbingan. Akan tetapi, Bia paham bahwa pertemanan juga memiliki lapisan. Enggak semua orang bisa menerobos masuk lebih dalam ke hidup seseorang. Bia juga sudah berumah tangga dan sebaiknya berhati-hati. Bukan tidak memercayai Ersa. Urusan rumah tangga enggak selalu harus diceritakan ke sana kemari.

“Ya, ampun, Bi! Kalau ada apa-apa kamu bilang ke aku, ya. Nanti aku bantuin.”

“Omong-omong, kamu ngapain di sini?” Bia berusaha mengalihkan pembicaraan mereka.

“Ada urusan sama Pak Radi.”

“Aku udah nunggu setengah jam, Pak Danang belum juga kelar. Beliau ada urusan sama Bu Sekjur dan Pak Radi juga.” Punggungnya terasa kebas karena sudah setengah jam duduk bersandar di tembok.

Keadaan di ruang pintu jurusan benar-benar dihuni mahasiswa semester akhir sepertinya. Pedih melihat para pejuang tugas akhir yang menunggu giliran untuk bimbingan. Miris hati Bia ketika menyadari jalan yang dilaluinya begitu banyak hambatan. Elisa dan Aryo pasti akan terus memberondong dengan banyak pertanyaan. Juga  berbagai ucapan yang mengharapkan Bia segera lulus. Ternyata bagi Bia itu menjadi beban.

“Bi, kamu baik-baik aja, ‘kan? Wajahmu kusam banget. Matamu juga mulai ada item-itemnya.

“Cuma lagi kepikiran sama Pak Danang aja.” Padahal segala macam pikiran menyebalkan kini memenuhi batok kepalanya. “Setelah ini aku mogok bimbingan lagi. Pak Danang bakal ke Medan selama seminggu dan kalau senggang, konsulnya bisa via WhatsApp.” Kedua netra gelap gadis itu menatap lamat barisan awan yang berarak di langit sore. Mengintip dari celah pembatas lantai empat. “Aku mana bisa main hape terus di rumah, ditambah harus ngurus Noah.”

Begitu menyadari ucapannya sudah sejauh itu, Bia terperanjat. Kedua netra gadis itu langsung terarah pada Ersa yang mengerjap-ngerjap heran. Sadar akan hal tersebut sudah kepalang bocor, Ersa pasti tidak akan melepaskannya begitu saja.

“Anak Mbak Inggit.”

“Astaga, Bi! Pantas aja mukamu kayak orang tipes begini. Apa enggak diurus sama mertuamu aja?”

“Nggak enak, mereka juga ngurus anak Mas Andra.”

Mendadak Bia merasa nyeri sekaligus ditampar kenyataan, bahwa memang siapa pun pasti akan menganggap bahwa dirinya belum siap untuk mengurus seorang bayi. Seorang bayi di tengah gempuran tugas akhir?

Kami Pasutri√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang