Rafli mencengkeram lingkar kemudi sesaat setelah kembali memikirkan keputusannya untuk bekerja. Sedikit ragu kalau harus bekerja sambil menyelesaikan tugas akhirnya. Sesaat setelah itu ada rasa menggebu-gebu dalam diri, ia harus membuktikan pada dirinya sendiri, bahwa ia pantas bersama Bia.
Getar ponsel di atas dashboard membuat Rafli meraih benda itu. Pesan masuk dari Pak Ridho. Senyum Rafli mengembang sempurna saat Pak Ridho memberi kabar gembira, Rafli bisa segera ikut seminar setelah jauh hari mendaftar, hanya saja ia belum memberi tahu Bia.
Mobil Rafli berhenti di depan gerbang rumah. Buru-buru ia turun membuka gerbang karena memang tidak ada satpam. Rafli memarkirkan mobil di halaman rumah yang tidak begitu luas, hanya bisa menjadi tempat parkir mobil. Tumben Bia tidak menunggunya di teras.
Pintu utama terbuka lebar bersamaan dengan si empu yang bergerak masuk. Ada Bia duduk membelakanginya, bersama Noah di karpet. Bia sedang memandangi layar laptop dan tampak tidak menyadari keberadaan suaminya. Rafli kangen menyapa Bia. Duduk memandanginya saat mengerjakan tugas, menyuapi martabak manis kesukaan Bia, atau menemani Bia mengerjakan tugas sambil main play station.
“Dari mana, Raf?"
Kampus."
“Mandi, makan, terus istirahat, ya.” Bia menyapa dengan hangat seperti biasa. Seolah-olah, sebelumnya tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
Rafli hanya mengangguk singkat, melewati Bia dan Noah begitu saja. Kedua netra hitamnya sempat melirik layar laptop Bia. Rupanya Bia sedang berselancar di situs belanja daring. Melihat-lihat baju bayi.
Perasaan Rafli meringis sepanjang langkah menuju kamar. Pengecut. Lagi-lagi kata itu meraung keras dalam batok kepala. Terus bersikap tak acuh pada Bia. Menyakiti istri hatinya begitu saja.
“Maaf, Bi.” Rafli memandang tubuhnya sendiri di standing miror pojok kamar. “Aku cuma ... kenapa rasanya berat buat natap kamu, aku ... pengecut."”
Baru kali itu Rafli merasa perasaannya lebih sesak dari apa pun masalah sebelumnya. Ia mengepalkan tangan kuat-kuat, mencoba menahan sesuatu dari matanya agar tidak meluruh.
Rafli bergerak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai dengan urusan di kamar mandi, ia segera turun sesuai arahan Bia tadi. Ternyata Bia sudah ada di dapur sambil menggendong Noah. Lagi-lagi Bia mengulas senyum, bikin hati Rafli nyeri.
“Ayo, makan dulu,” ajak sang istri, “kita sengaja nungguin kamu, tapi tadi Noah keburu nangis karena lapar.” Bia menuangkan segelas air. “Iya kan, Sayang?” Dia menjawil pipi gembul Noah. “Jadi, sekarang Papa makannya sama Mama aja.”
Rafli menahan tawa, hatinya tergelitik oleh kalimat Bia.
-oOo-
Bia mengangkat kepala ketika melihat tidak ada Rafli di sisinya. Rumah cukup hening karena Noah sudah tidur. Hanya sapuan angin malam menyentuh kulit tanpa malu-malu. Menggoyangkan gorden yang berbenturan dengan kusen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomanceMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...