10. "Kita bisa menghadapinya."

2.8K 236 37
                                    

Entah sudah berapa kali Rafli membanting ponsel ke ranjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah sudah berapa kali Rafli membanting ponsel ke ranjang. Panggilannya tetap tidak mendapat respons yang sesuai dengan keinginan. Hanya suara kaku operator yang menyampikan bahwa nomor Inggit masih tidak bisa dihubungi. Rafli mondar-mandir di depan baby box di mana Noah tertidur tenang di sana. Rambut hitam tebal itu diacak-acak frustrasi oleh si empunya. Kemurkaan Rafli sudah tidak terbendung menyentuh angka paling sempurna.

"Duduk dulu!" Bia menuntun Rafli duduk di bibir kasur.

"Aku kecewa sama Mbak Inggit, Bi. Seengaknya dia bisa dihubungi sekarang karena aku mau ngasih tahu keadaan Papa dan Mama, keadaan keluarga kita."

Ekspresi Rafli yang tampak jelas menahan amarah membuat Bia beringsut maju. Ia menggenggam tangan Rafli dengan erat, meraih bahu, dan memberinya pelukan. Sudah lama juga mereka tidak saling memberi dekapan seperti itu. Bia menepuk-nepuk pundak Rafli untuk menenangkannya.

Seakan-akan ada sesuatu yang hebat dalam diri Bia dan mampu menarik Rafli lebih dekat. Dibalasnya pelukan sang istri tak kalah erat. Hangat. Rafli selalu suka pelukan mereka. Ah, bukan. Namun, setiap apa pun yang berhubungan dengan skinship bersama Bia. Rafli suka aroma tubuh, kulit yang lembut, atau bahkan bibir Bia yang membuatnya tak bisa menahan diri.

"Besok kita pikirkan lagi, ya. Sekarang udah malem, kamu juga pasti capek. Kita harus istirahat." Bia melepas pelukan mereka.

Rafli menjatuhkan kepalanya di pundak Bia, membiarkan sang istri mengusap rambut acak-acakan tersebut. "Aku nggak nyangka situasinya bakal seperti ini, Bi."

"Masalah yang kita hadapi setelah menikah emang bakal lebih nggak terduga, Raf. Kita udah sepakat untuk menikah, menempuh kehidupan di mana kita akan terlibat dengan masalah hidup yang sesungguhnya." Bia meraih kedua pundak Rafli dan memandang dengan lekat. "Kita bisa menghadapinya."

Hanya satu anggukan lesu yang menghadiahi tatapan dan ucapan Bia tadi. Bagi seorang yang terlahir di keluarga berada dan sedikit manja, Bia yakin kalau saat itu Rafli lebih terguncang dari dirinya. Namun, Bia selalu yakin akan ucapan Oma Santi dahulu; bahwa kehidupan pernikahan bukan sesuatu yang hanya dipenuhi bahagia atau kenikmatan sesaat di atas ranjang, tetapi kehidupan pernikahan menuntut sepasang suami-istri siap tidak siap harus dihujani perkara. Entah apa pun itu, yang jelas tidak ada rumah tangga tanpa bumbu problem.

"Memikirkan dan membicarakan masalah juga butuh energi." Bia beranjak lebih dahulu dan mengatur posisi berbaring agar merasa nyaman. Rafli menyusul setelahnya.

Dalam beberapa detik, lampu ruangan padam, tersisa lampu hias di atas nakas. Rafli sedikit lega karena tidak ada Noah di antara mereka yang menghalangi geraknya. Sebelum benar-benar merebahkan diri, Rafli mendekat dan mengecup singkat kening Bia yang tidak ditutupi poni.Sebelum tidur, Rafli mendapat kabar dari Brama bahwa mereka akan pindah besok. Rafli harusnya bertemu Pak Ridho besok, tetapi syukurlah dosen pembimbingnya tersebut memundurkan jam temu mereka menjadi sore.

Kami Pasutri√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang