"Keberangkatan Pak Danang ditunda, jadi aku masih bisa untuk menyerahkan revisi instrumen. Yang kemarin itu nggak jadi karena ada kabar duka dari keluarga Pak Danang," tutur Bia pada Ersa yang siang itu berkunjung ke rumahnya, "yeah, agak kesal, sih. Setelah menunggu lama, Pak Danang malah nggak bisa ditemui. Tapi, ada kabar duka begitu masa aku maksa."
Ersa mencomot keripik pisang yang disediakan Mbak Andar. Sementara Bia bercerita dengan gemas, di pangkuannya ada Noah yang berusaha menyentuh karpet dengan kaki pendeknya. Rumah minimalis milik Rafli dan Bia tampak begitu sepi karena Mbak Andar pamit ke minimarket. Rafli belum pulang dari kampus. Rumah bercat krem itu pun hanya dihuni mereka bertiga saat itu.
"Syukurlah masih bisa ketemu besok, Bi," kata Ersa merespons.
"Kamu gimana? Udah penelitiannya?"
"Minggu depan ini. Kayaknya aku bakal fokus dan kita jarang ketemu, deh."
"Santai kali. Nanti kalau semua urusan kita udah kelar, kita bisa ketemu sepuasnya, Sa. Aku juga pengin banyak cerita random sama kamu."
"Oke, Bibi." Ersa meniru panggulan khusus buat Bia yang hanya digunakan oleh Rafli.
Mengingat Rafli, entah kenapa perasaan Bia sedikit teriris. Sejak kemarin, Rafli menjadi lebih banyak diam. Semalam pun dia tidak bersuara dan pulang tengah malam. Bia yang masih belum tidur—tetapi pura-pura lelap—lantas ingin mengomel. Namun, sadar akan waktu yang sudah tengah malam dan Rafli capek, Bia pun urung. Lagi pula, terus-terusan marah akan membuat ia dan Rafli makin kacau.
Sebisa mungkin Bia menahan diri. Sejak Subuh ia berusaha untuk tidak mendebat Rafli. Akan tetapi, ketika selesai beribadah, Rafli sudah tidak di kamar. Ada satu pesan masuk di ponselnya, Rafli ijin untuk gladi acara pameran dan bazar amal.
Sepagi itu? Bia menjadi serba salah. Ada rasa kesal dan bersalah karena Rafli seperti menjauh.
"Bi, sampai kapan Noah mau di sini?" tanya Ersa memecah keheningan.
"Enggak tahu. Aku sama Rafli janjinya cuma sebulan."
"Katanya mau nyerahin Noah ke mertuamu."
Bia menghela napas sesaat. "Iya, sih. Tapi, Sa, aku ragu. Enggak tega dan udah keburu bilang ke mertua kalau aku bisa merawat Noah. Masalahnya mereka juga ngerawat anak Mas Andra, bahkan Papa Brama sempat dirawat juga karena sakit, kecapekan ngurus cucunya."
"Parah, sih. Aku ngerti, kamu pasti ngerasa nggak enak."
"Ya, bener. Rasanya aku serba salah banget, nih."
"Tega sama diri sendiri."
Bia menyetujui ucapan Ersa dengan satu anggukan. Mau bagaimana lagi? Ia menatap Noah yang sekarang mendongak ke arahnya. Wajah lugu, pipi tembam, dan hidung mungil itu membuat Bia lagi-lagi gemas. Diciumnya pipi Noah berkali-kali.
Kalau saja Noah sekarang tidak ada di pangkuannya, Bia mungkin akan menghabiskan waktu untuk menggarap tugas akhir. Setidaknya karena ada Noah ia bisa sedikit beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomanceMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...