Tepat di panggung auditorium, terlihat banner besar untuk acara pameran dan bazar seni SERUFA. Acara itu akan berlangsung sebentar lagi dan Rafli juga ikut andil sebagai tim acara harus ikut memantau persiapan mereka. Mengabaikan apa pun yang berkaitan dengan tugas akhir. Toh, dosen pembimbingnya selalu berhalangan untuk datang.
“Udah beres?” Ketua mereka mendekat, Sadil namanya. Senyum pemuda berambut hitam berantakan tersebut lantas mengembang setelah memantau banner yang terpasang sempurna. “Kalau gitu kita cukupkan sampai di sini. Besok kita lanjut lagi. Udah sore banget, nih, kalian boleh pulang.”
Perlahan-lahan auditorium disapa sepi. Para panitia mulai berkeliaran kembali ke tempat masing-masing. Rumah, indekos, atau entah ke mana langkah mereka menapak. Rafli sudah pasti, rumah. Tiada yang bikin Rafli merasa senang setelah beraktivitas seharian di luar, kecuali pulang dan bertemu Bia. Enaknya kalau sudah menikah. Lelah seharian akan dibalas sambutan istri di rumah. Rafli terkikik geli membayangkan wajah Bia.
“Langsung balik, Raf?” tanya Sadil yang mendekat dengan Gading.
“Heeh. Emang mau ke mana lagi?”
“Nongki, yuk! Gila, lama banget kita nggak nongkrong bareng. Ada anak-anak juga, Bang Amar ikut, tapi gitu ... datengnya agak telat,” jabar Gading yang sudah mendekat ke arah motornya di samping mobil Rafli.
“Gue balik aja. Ijin.” Sejujurnya Rafli pengin ikut, tetapi langsung terbayang wajah kesal Bia di benaknya. Bisa habis diomeli sepanjang malam.
Sadil menepuk pundak Rafli. “Nggak asik banget lo. Sejak menikah absen mulu kalau diajak kumpul. Nggak kangen lo sama anak-anak?”
Ada keraguan yang terbesit dalam diri Rafli. Jauh dalam batinnya, ada yang berteriak ingin. Namun, ada bagian dari dirinya yang menyuruh pulang. Rafli tahu yang sekarang mendominasi adalah keinginan bertemu teman-temannya.
“Lo chat aja si Bia, pasti dimaklumi,” celoteh Gading.
“Tapi bentar aja, ya?” Pertanyaannya dibalas anggukan dari Sadil.
Kesepakatan mereka pun final, yaitu menghadiri acara nongkrong. Tadinya ia ingin mengirim pesan kepada Bia, tetapi karena yakin Bia pasti akan memberondong ponselnya dengan chat atau telepon yang berisi penolakan, Rafli pun memutuskan untuk tidak meminta izin. Lagi pula, dia butuh waktu bersama teman-teman. Bia memang istrinya, tetapi Rafli tahu dirinya tidak terlalu suka diatur. Selama yang ditemuinya adalah teman, tidak masalah. Masih untung tidak berkeliaran menemui cewek lain.
Mobil Rafli tiba di depan kafe yang tidak jauh dari area kampus. Dia, Sadil, dan Gading pun berjalan beriringan memasuki tempat tersebut. Teman-temannya sudah menunggu di meja panjang yang sebelumnya sudah dipesan. Rafli bergabung dalam obrolan. Larut dalam canda tawa, tanpa tahu ponselnya di dalam mobil menjerit berkali-kali.
-oOo-
Rafli memarkirkan mobil di halaman rumah. Ada rasa waswas dalam dadanya. Terlebih ketika melihat ponsel yang menampilkan sepuluh panggilan dan rentetan pesan masuk dari nomor Bia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomanceMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...