Bia bergegas menyusuri lorong jurusan, menghalau beberapa orang yang berkumpul di beberapa titik. Hari itu ia tidak boleh terlambat, tetapi nyatanya setelah menunggu Mbak Andar datang, keadaan berkata lain.
“Raf?”
Napas perempuan itu naik-turun tak karuan. Sosok yang dipanggil pun tersenyum semringah. Buket bunga di tangan Rafli langsung dilempar ke arah Amar yang berdiri bersama Rena. Bia merentangkan tangan lebar-lebar untuk menyambut Rafli dengan satu pelukan.
“Selamat, selamat!” ucap Bia masih berusaha mengontrol nafas agar kembali normal. “Maaf, aku nggak bisa ikut lihat kamu sempro. Tapi, aku senang ....”
“Kamu sampai datang aja aku senang.” Rafli melepas pelukan itu. Dipandanginya wajah Bia yang jelas tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. “Aku ... tinggal sedikit lagi, Bi.”
Bia mengangguk-angguk penuh sukacita. Sudah lima hari berlalu sejak pemberitahuan seminar proposal. Beberapa jam lalu Rafli berada di salah satu ruangan bersama dosen penguji dan pembimbingnya dan beberapa mahasiswa yang ikut menyaksikan. Selama itu pula Rafli menyempatkan diri datang ke kafe Pak Ketut untuk bekerja. Namun, Pak Ketut menyuruhnya untuk fokus dulu mengurus seminar. Rafli sadar langkahnya tinggal sedikit lagi.
“Semua orang udah nungguin kamu di rumah,” ungkap Bia.
Selain memunggu Mbak Andar, pagi itu Bia juga dikejutkan oleh kedatangan Elisa dan keluarga Rafli. Mereka menunggu di rumah untuk menyambut kedatangan Rafli setelah seminar.
“Ah, nggak perlu sebenarnya. Ini belum seberapa, masih ada beberapa tahap lagi, Bi.”
“Kamu sampai sini aja udah hebat, Raf. Aku harap selanjutnya kamu lebih giat.”
“Untuk itu aku perlu dukungan kamu.”
Tentu saja Bia akan terus mendukung dan membantu suaminya. Dia dan Rafli sudah memutuskan untuk menikah, maka sudah sepatutnya saling mendukung satu sama lain.
“Nih, aku bawa ini juga,” kata Bia sambil menyerahkan sebuket bunga untuk suaminya. Hampir saja lupa, padahal dari tadi ia terus memegangi benda itu. Rafli tersenyum lebar, mendekat dan mengecup singkat pipi istrinya. Bia langsung memukul lengan kekar lelaki itu. Bagaimana bisa ia melakukannya di antara banyak orang. “Malu tau. Nggak enak dilihatin orang,” Bia mendesis serupa seekor ular. Pipinya bersemu, terlebih saat beberapa orang di dekat mereka langsung tersenyum menggoda.
“Biarin aja.”
“Bener-bener nggak ngerti tempat lo.” Amar datang bersama Rena.
“Sekali lagi selamat, ya, Raf. Tinggal beberapa langkah lagi, nih. Kamu juga, Bi. Semangat untuk tugas akhirnya.” Rena tersenyum ramah sambil menepuk pundak Bia.
Hampir saja Bia lupa kalau sebentar lagi akan melakukan hal yang sama seperti Rafli. Ketika melihat Rafli rasa percaya diri Bia makin mantap. Jika Rafli bisa, dia pun pasti bisa. Selama ada Rafli, keluarga, dan teman-temannya yang mendukung serta membantu, Bia tidak perlu menjadikannya beban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomanceMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...