09. "Jadi, maksud kamu kita kerja?"

2.9K 234 52
                                    

“Atas nama Mbak Sabia Lituhayu?” Kertas di tangan pria itu sedikit tersentuh angin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Atas nama Mbak Sabia Lituhayu?” Kertas di tangan pria itu sedikit tersentuh angin. “Tanda tangan di sini, Mbak.” Pulpen terketuk-ketuk di permukaan kertas.

“Ini beneran suami saya yang pesan?”

Pria berwajah jutek hanya mengangguk dibarengi satu senyum singkat. Enggan berurusan lagi dengan pengantar barang, Bia pun membubuhkan tanda tangan. Urusan kelar, buru-buru Mbak Andar membantu Bia membawa masuk baby box bercat cokelat dengan ornamen kerang di beberapa titik.

“Mbak Bia, saya pamit dulu, ya. Udah sore banget.”

“O-oh, iya. Makasih, Mbak Andar. Hati-hati.”

Mbak Andar sungguh raib dari hadapan Bia. Ternyata Rafli tidak bercanda. Akan tetapi, satu yang menjadi kekhawatiran Bia, uang simpanan mereka yang selalu diberikan oleh Brama. Bia tipe orang yang cemasnya keterlaluan, jadi urusan uang juga termasuk alasan kecemasan yang bisa timbul mendadak. Selama ini Rafli memegang kendali atas uang yang dikirim oleh mertuanya. Bia punya uang sendiri yang diberikan oleh Rafli—tentu dari uang pemberian sang mertua.

Selama beberapa menit berpikir sambil menatap baby box di hadapannya, Bia mengambil gambar benda tersebut dan mengirimnya pada Rafli. Balasan Rafli hanya; nanti bicarakan di rumah.

“Reuninya harus sampai jam segini, ya? Mana mau Magrib lagi,” ketus Bia. Agak kesal karena Rafli pada akhirnya menghadiri acara reuni SMA. “Apa ide makan di luar itu terlalu berlebihan?” Ia mengetuk-ngetuk jemari di permukaan bibir.

Suara tangis Noah dari lantai atas membuat Bia melonjak, menyobek paksa susunan rencana yang terpikir sejenak. Perempuan itu buru-buru melangkah menaiki anak tangga. Hah, setelah bimbingan ditunda, sekarang dia harus ekstra mengurus Noah. 

“Astaga! Popoknya Noah udah abis.” Bia menepuk jidat sendiri.

-oOo-

“Aku udah cek uangnya. Ya, kupikir cukup untuk satu bulan ke depan. Tapi, kamu tenang aja. Kalau nanti aku kasih tau Papa, pasti langsung ditransfer.”

“Raf, sampai kapan kita bergantung sama mereka? Aku tau kita masih kuliah, tapi apa kita nggak inisiatif? Dan kebutuhan Noah juga ....”

Sendok terbanting pelan menyisakan helaan napas kasar Rafli dan kekagetan Bia. Ada rasa waswas dalam diri Bia ketika melihat perubahan raut wajah Rafli. Dahulu, Bia jarang melihat Rafli kesal. Ketika menikah, segalanya seperti berubah.

Setelah menikah, Bia mendadak kagok jika diminta menjelaskan bagaimana kehidupan setelah pernikahan. Soalnya Bia merasa, everything has different. Kehidupan pacaran dan menikah sangat kontras. Sikap manis Rafli yang setiap hari membuat Bia mabuk—dulunya—sekarang perlahan-lahan mulai terkikis.

Rumah tangga bukan sesuatu yang selamanya dipenuhi kebahagiaan. Konflik datang silih-berganti. Perdebatan mewarnai. Apalagi mereka menikah di usia yang terbilang muda. Bisa dibilang keduanya ngeyel karena nyatanya sebelum menikah tidak sempat berpikir jauh ke depan. Hanya satu tujuan; lulus, lalu menjalani kehidupan penaka suami dan istri pada umumnya.

Kami Pasutri√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang