Bia menggigit kuku di depan salah satu ruangan. Ersa dan Amar turut serta menemani. Namun, yang menjadi pusat perhatian beberapa mahasiswa ketika melintas di hadapan mereka adalah Noah. Bayi itu duduk anteng di pangkuan Bia.
Pintu ruangan di depan mereka langsung berkeriut. Lantas mengomando tiga pasang mata yang duduk di bangku kayu. Dua orang pria dan satu wanita berjilbab keluar dari sana dengan wajah semringah. Lelaki yang mengekor di belakang mereka tidak kalah berseri. Rafli menjabat tangan dosen-dosen yang bergabung dengannya selama proses sidang skripsi. Bahkan mereka menepuk pundak Rafli tampak penuh kebanggaan.
“Gimana?”
Lengkung tipis terbentuk dari bibir Rafli yang sedikit menghitam. Membangkitkan letupan bahagia dalam dada Bia. Meledak-ledak penuh haru. Satu pelukan hangat langsung dihadiahi untuk Rafli. Tanpa dijawab pun, Bia sudah menemukan jawaban dari raut wajah suami dan bagaimana dosen-dosen tadi memperlakukan Rafli.
“Selamat, Sayang,” Bia berbisik dalam dekap itu.
“Thank you, Bi. Dukungan dan bantuan kamu sangat berarti.”
Pelukan mereka terurai begitu Amar dan Ersa turut memberikan ucapan selamat. Teman-teman Rafli juga datang membanjiri ucapan selamat karena setelah menempuh pendidikan yang cukup lama, akhirnya telah tiba hari di mana ia akan segera mangkat dari kampus.
“Aku bakal segera nyusul kamu,” bisik Bia saat mereka turun menuju halaman depan gedung.
“Dan aku akan selalu bantuin kamu. Sedikit lagi tujuan kita menunggu, Bi.”
“Setelah ini kita harus lebih siap, Raf. Untuk apa pun di depan sana. Yang pasti ...,” ujar Bia seraya mempererat tautan tangan mereka, “aku harap kita bakal lebih baik ke depannya.”
-oOo-
“Aku sekarang agak luang, jadi bisa nemenin kamu sama Noah. Kalau ketemu teman-temen boleh?”
“Asal inget waktu aja. Kamu sekarang udah mulai aktif kerja.” Mulutnya yang penuh dengan martabak manis pun sedikit belepotan.
Rafli meraih selembar tisu dan mengelapnya. Bia juga heran Rafli tiba-tiba lupa dengan play station, beralih memperhatikannya yang sedang makan. Tatapan lembut dan penuh perhatian yang seolah kembali setelah hampir lima bulan rumah tangga mereka dipenuhi perdebatan.
“Jadi, kamu udah siap seminar?” Rafli menopang dagu, sesekali menyuapi sepotong martabak manis begitu mulut istrinya kosong.
“Dua hari lagi. Doain lancar, ya.”
Mereka menghabiskan malam berdua setelah Noah tertidur pulas di keranjang bayi. Seperti malam-malam sebelum pertengkaran yang mereka lewati, keduanya akan duduk bercerita di ruang tengah. Saling memandang penuh cinta, menjadi pendengar yang baik untuk masin-masing sampai membicarakan hal-hal random.
“Raf, kamu belum cerita gimana di tempat kerja hari ini.”
“Ya, semuanya lancar. Kayak lebih nyaman aja kerjanya. Tahu nggak ....” Rafli mengubah posisi menjadi bersila. “Mbak Maria sering senewen sama aku, tapi aku senyumin terus. Lama-kelamaan nadanya jadi nggak sinis. Tahu apa alasanku harus bertahan dan menghadapi mereka tanpa marah-marah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomanceMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...