Pagi-pagi Bia harus menghela napas. Penyebabnya sudah pasti Si Bayi Besar alias sang suami. Bagaimana Bia tidak merenggut sebal, semalam Rafli tidak tidur di kamar, tetapi memilih begadang sambil bermain play station. Entah jam berapa Rafli tertidur, Bia tidak tahu.
Begitu turun dari lantai dua, netra gelapnya langsung disapa oleh pemandangan menjengkelkan. Tentu menjengkelkan, pagi-pagi Rafli sudah duduk di depan televisi, makan semangkuk sereal sambil menyaksikan acara kartun. Bungkus makanan ringan tercecer di sekitar kaki meja, remahan biskuit memenuhi meja, dan bekas air mengguyur lantai di beberapa titik.
Rafli duduk di atas sofa dengan kedua mata fokus menatap layar televisi. Penampilan Rafli sangat kacau, lebih kacau dari kemarin. Seperti gelandangan. Penaka seseorang yang tidak tidur berminggu-minggu. Bia tahu suaminya sedang patah hati.
Meski Bia berkacak pinggang di sampingnya, Rafli tetap tidak menoleh.“Kapan turun ke lapangan?” tanya Bia mencoba menahan diri untuk tidak mengomel. Bukan waktu yang tepat untuk mengajak suaminya berdebat. “Hari ini kamu penelitian, ‘kan?”
“Iya.”
“Jam berapa?”
Rafli mengangkat kepala hanya untuk melihat jarum jam yang berdetak pelan. “Lima belas menit lagi.”
“Terus kenapa belum siap-siap?”
“Bentar lagi, mau ngabisin sarapan.”
Sebentar lagi? Sebentar lagi itu sampai berapa lama? Bia sudah gergetan sendiri. Kalau saja perasaan Rafli sedang tidak kacau, Bia pasti sudah sibuk mengomel.
“Bentar lagi, tuh. Kak Amar pasti nungguin kamu.”
“Iya, Bi.”
Bia tahu iya-nya Rafli seperti apa. Tanpa menunggu pun, Bia tahu suaminya akan betah duduk di sofa. Sesekali tergelak kecil manakala ada adegan lucu di televisi.
Jerit ponsel Rafli mengudara, berbenturan dengan suara tangis Noah di lantai atas. Buru-buru Bia berlari ke lantai atas, sedangkan Rafli mengangkat telpon dengan malas. Rutinitas pagi mereka mendadak berubah.
-oOo-
Mungkin kemarin Bia bisa memaklumi karena Rafli pulang malam. Alasannya karena harus menyelesaikan tugas di lapangan. Itu pun masih belum kelar. Paginya, Bia membiarkan Rafli pergi lagi untuk menyelesaikan sisanya.
Sekitar pukul setengah sembilan malam, Rafli keluar dari kamar mandi sambil mengacak-acak rambut dengan handuk. Bia yang melihatnya kontan meletakkan Noah di baby box.
“Cepet banget tidurnya?”
“Kecapekan kali.”
“Oh gitu, ya udah aku ke bawah dulu.”
Bia menahan lengan suaminya yang hendak menyentuh kenop pintu. “Kamu nggak pergi ke kafe?”
“Aku capek.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomanceMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...