Bia memijat pelipis sendiri. Rasa pusing itu tidak cukup kalau harus diobati dengan obat pereda pusing yang beredar di luar sana. Satu orang yang memenuhi pikirannya sekarang adalah Rafli dan kondisi mereka yang sering bertengkar.
Ia meraih ponsel mencari kontak Mbak Inggit. Bia mencoba menghubungi sang ipar, tetapi jawaban masih tetap sama seperti apa yang Rafli dapatkan dahulu saat mencoba menghubunginya, nomor Mbak Inggit tidak aktif. Bia ingin menelepon Elisa, tetapi sudah pasti mamanya akan mengomel. Brama dan Maharani? Bia harus memasang keberanian untuk menghubungi mereka.
Padahal kalau dipikir, sangat gampang. Tinggal bilang kalau ia dan Rafli ternyata belum bisa merawat Noah, tetapi entah kenapa rasanya berat. Ada sesuatu yang menahan Bia untuk tidak terburu-buru, padahal Noah sendiri adalah cucu biologis mertuanya. Bia mengusap wajah sendiri ketika menyadari hati dan pikirannya berperang habis-habisan.
"Nggak bisa, Bi?" tanya Ersa.
Bia menggeleng putus asa dan melupakan rasa pening itu sejenak sambal memijat pelipisnya kembali. Enggan lagi memikirkan masalah Noah, ia memilih mencari topik lain.
"Oh ya, Sa, keberangkatan Pak Danang ditunda, jadi aku masih bisa untuk menyerahkan revisi instrumen. Yang kemarin itu nggak jadi karena ada kabar duka dari keluarga Pak Danang," tutur Bia pada Ersa yang siang itu berkunjung ke rumahnya, "agak kesal, sih. Setelah menunggu lama, Pak Danang malah nggak bisa ditemui. Tapi, ada kabar duka begitu masa aku maksa."
Ersa mencomot keripik pisang yang disediakan Mbak Andar. Sementara Bia bercerita dengan gemas, di pangkuannya ada Noah yang berusaha menyentuh karpet dengan kaki pendeknya. Rumah minimalis milik Rafli dan Bia tampak begitu sepi karena Mbak Andar pamit ke minimarket. Rafli belum pulang dari kampus. Rumah bercat krem itu hanya dihuni mereka bertiga saat itu.
"Syukurlah masih bisa ketemu besok, Bi," kata Ersa merespons.
"Kamu gimana? Udah penelitiannya?"
"Minggu depan ini. Kayaknya aku bakal fokus dan kita jarang ketemu, deh."
"Nanti kalau semua urusan kita udah kelar, kita bisa ketemu sepuasnya, Sa. Aku juga pengin banyak cerita random sama kamu."
"Oke, Bibi." Ersa meniru panggilan khusus buat Bia yang hanya digunakan oleh Rafli.
Mengingat Rafli, perasaan Bia sedikit teriris. Sejak kemarin Rafli menjadi lebih banyak diam. Semalam pun tidak bersuara dan pulang tengah malam. Bia yang masih belum tidur-tetapi pura-pura lelap-lantas ingin mengomel.
Namun, sadar akan waktu yang sudah tengah malam dan Rafli capek, Bia pun urung. Sejak Subuh ia berusaha untuk tidak mendebat Rafli. Akan tetapi, ketika selesai beribadah, Rafli sudah tidak di kamar. Ada satu pesan masuk di ponselnya, Rafli izin untuk gladi acara pameran dan bazar amal.
"Bi, sampai kapan Noah di sini?" tanya Ersa memecah keheningan.
"Aku sama Rafli janjinya cuma sebulan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomanceMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...