“Aku mau punya bayi! Bi, denger enggak? Aku mau punya bayi, Bi!”
Bia diam bukan berarti tidak mendengar atau peduli dengan rengekan Rafli. Bia hanya membiarkan pikirannya berisik. Menerka-nerka apa yang mempengaruhi Rafli hingga ingin melanggar janji yang pernah mereka ikrarkan sebelum ijab-kabul?
“Bibi!” Rafli berteriak frustrasi, seiring terhentinya gerakan tangan Bia yang sedang memotong wortel.
Pagi-pagi buta, Rafli dengan sikap anehnya—lengkap bau jigong serta muka yang belum dicuci—tiba-tiba datang ke dapur dan memeluk guling. Rambut kecokelatan itu tampak awut-awutan, mata dan bibir sedikit menghitam karena sering begadang sambil merokok. Bia pernah mengomel, tetapi Rafli benar-benar! Dari mana datangnya perasaan sebal Bia yang kemudian sempat berpikir; kenapa dia mau menikahi Rafli?
“Raf, mandi dulu atau kita enggak sarapan hari ini? Jangan ngerecokin aku!” Bia masih bersikap tenang dan kembali melanjutkan memotong wortel kecil-kecil untuk dicampur dengan nasi goreng.
“Dengerin aku dulu! Aku mau punya bayi. Kita udah sebulan menikah kamu nggak mau punya bayi? Amar bentar lagi bakal jadi bapak tau. Rumah kita bakal rame kalau ada bayi.” Rafli dengan mula bantalnya masih setengah memohon dan mendekati Bia. “Bayangin pas aku pulang, nanti kamu sama bayi kita ....”
“Rafli!” Bahana Bia memantul bersama suara pisau yang dibenturkan dengan kasar ke talenan. “Mandi sana! Kamu ada bimbingan jam tujuh ini.”
“Ayo, omongin dulu!”
Bia menghela napas lelah. Ternyata pikiran Rafli enggak pernah seluas itu. “Kamu lupa sama janji kita, Raf?”
“Nggak lupa, tapi mana bisa aku tahan keinginan buat punya bayi? Menikah itu tujuannya untuk memperbanyak keturunan, ‘kan?”
“Aku masih mau memegang janji kita, Raf. Ingat, saat ini kita bakal sibuk sama tugas akhir. Punya bayi katamu? Kamu pikir setelah bikin bayi, bayinya brojol, terus bakal dibiarin gitu aja? Enggak segampang itu, Raf! Aku rasa kamu paham.”
“Itu pikirin nanti aja, jadi ....”
“Enggak bisa!” Bia meletakkan pisau yang sempat digenggamnya dengan erat.
“Terlalu banyak yang harus kita pikirin, Raf. Jangan sekarang, kita masih kuliah. Nanti kalau kamu atau aku udah kerja enggak masalah. Kalau kamu mau bikin kesebelasan ngalahin keluarga Halilintar juga aku no problem. Aku minta enggak dulu sampai kita lulus.”Niat Bia untuk memasak sarapan mendadak raib, lantas meninggalkan Rafli yang masih tercenung melihat kemurkaan di wajahnya. Bia mengentak-entakkan kaki dan membanting pintu kamar, sementara Rafli mengacak rambut penuh frustrasi.
Jauh di dalam kamar, Bia mondar-mandir seperti setrika. Mengetuk-ngetuk bibir dengan jemari seraya memikirkan alasan yang kuat sehingga Rafli bertindak ingin melanggar perjanjian mereka? Satu nama yang kini terlintas di balik batok kepala Bia adalah Amar. Sohib suaminya sejak SMA. Meski Amar adalah senior mereka, tetapi Rafli dan Amar lengket banget. Tadi Rafli sempat membawa-bawa nama Amar dan ia yakin kalau Amar ikut andil dalam keinginan Rafli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomanceMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...