12. "Ya, Pak. Saya mau."

2.3K 220 33
                                    

Pengecut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pengecut.

Satu kata itu terus-menerus terulang dalam kepala Rafli. Ternyata dirinya memang sepengecut itu dalam menghadapi Bia. Entah apa yang membuat Rafli betah bertahan dalam rasa tak acuh. Memendam jauh rasa bersalahnya, tanpa berani meminta maaf pada Bia.

Setelah bangun dari tidur yang sama sekali tidak nyenyak, Rafli hanya duduk sampai setengah jam lamanya di sisi ranjang. Kosong. Semalam tidak ada tangis Noah. Juga dekap, sapaan, bahkan morning kiss dari Bia. Rafli mengacak rambut penuh frustrasi. Bia memenuhi setiap ruang dalam dada dan otaknya. Berganti dengan teriakan kata pengecut yang berkali kali bergaung keras.

Jika saja dengung ponsel di sampingnya tidak terdengar, Rafli mungkin masih mematung membiarkan secercah mentari pagi menyiram area wajah.

“Lo nggak dateng, Raf?” Suara Amar terdengar dari panggilan yang di-loudspeaker. Hari itu adalah hari pertama pegelaran pameran dan bazar amal SERUFA.

“Dateng. Ini on the way ... mandi."

“Olahraga nih kayaknya semalem.” Terdengar kekehan setelahnya.

“Ngaco, lo. Gue entar gue cerita.”

Panggilan itu lantas terputus. Rafli menyeret langkah ke kamar mandi. Udara pagi yang cukup dingin membuat Rafli ngeri berurusan dengan air. Andai Bia di sana, pasti Rafli akan berendam di air hangat. Gara-gara sikapnya, ia dan Bia juga jarang menghabiskan waktu berdua. Apa tadi kata Amar? Olahraga malam? Rafli terkekeh pelan, Bia mungkin tidak mau disentuh lagi olehnya setelah membuat lubang kecewa bercokol di hati sang istri.

Rafli masih bisa menahan diri untuk urusan seks. Untung saja dia bukan lelaki bejat yang akan kelayapan mencari kepuasan di luar sana.

“Ngaco banget lo, Raf,” ketus Rafli ketika memandang wajah sendiri di pantulan cermin. Berikut dengan ingatan yang terlempar pada perjanjian pra-nikah mereka. “Pengin punya bayi? Ngurus Noah sama Bia aja lo payah, apalagi ngurus bayi sendiri.”

-oOo-

Acara pemeran hari pertama telah rampung. Rafli duduk di sudut panggung auditorium sambil membolak-balik kertas pelaksanaan. Ada kecanggungan pagi tadi saat Rafli buru-buru menuruni anak tangga. Langkahnya melambat begitu melihat Bia di dapur sedang membuat susu formula untuk Noah. Bayi dibiarkan duduk di karpet beludru. Bibir Rafli kelu untuk bertegur, mengingat sikap tak acuhnya semalam. Sehingga berjalan canggung melewati Bia. Jauh di luar dugaan, Bia justru mengekor seraya meletakkan totebag berisi sarapan untuk Rafli.

Untuk menghindari perdebatan di pagi hari, Rafli menurut dan membawa bekal dari istrinya. Sekarang bekal itu sudah kosong melompong.

“Raf, makan siang dulu!” ajak salah satu temannya.

“Nanti di ru—" Rafli membasahi bibir, ragu-ragu apakah masih punya muka buat makan siang di rumah. “Ayo!”

Setelah acara benar-benar selesai, Rafli dan beberapa rekannya melipir ke kantin outdoor dekat fakultas FEB. Teman-temannya mungkin berbincang banyak hal, Rafli hanya menanggapi sekenanya. Mukanya mungkin terlihat tenang saat menghisap rokok, tetapi pikirannya serupa interaksi di pasar.

Kami Pasutri√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang